rss

Kamis, 15 Oktober 2009

Antara Bantahan dan Ghibah (Bagian I)

Oleh Ustadz Abdurrahman bin Thayyib

Seringkali kita mendengar celotehan sebagian orang jika dia menyaksikan seseorang membantah/ menyingkap kesesatan kelompok-kelompok/ dai-dai yang menyelisihi al-Qur’an dan Sunnah serta manhaj salaf (ahli sunnah wal jama’ah), dia mengatakan (entah di mimbar-mimbar Jum’at atau di majlis-majlisnya): “Jagalah lisanmu, janganlah engkau mengghibah (ngrasani) saudaramu sendiri sesama muslim, bukankah Allah berfirman: ‘Janganlah kamu mengghibah (menggunjing) sebagian yang lain sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging yang sudah mati?’”. (QS. Al Hujurat: 12)

Apakah benar celotehan mereka ini??? Mari kita simak bersama sebagian ucapan-ucapan emas para ulama ahlus sunnah dalam masalah ini. Selamat menikmati –semoga Allah menampakkan yang benar itu benar dan memberi kita kekuatan untuk dapat mengikutinya dan semoga Allah menampakkan yang batil itu batil serta memberi kita kekuatan untuk menjauhinya-:

1. Imam Nawawi رحيمه الله (salah seorang ulama madzhab Syafi’i yang meninggal tahun 676 H) mengatakan dalam kitabnya “Riyadhus Shalihin” bab “Penjelasan Ghibah yang Diperbolehkan”:

“Ketahuilah bahwa ghibah dibolehkan untuk tujuan yang benar dan disyariatkan, yang tidak mungkin tujuan itu tercapai kecuali dengan ghibah tersebut. Hal ini ada dalam empat perkara:

1. Mengajukan kedzaliman orang lain. Dibolehkan bagi orang yang didzolimi untuk mengajukan yang mendzoliminya kepada penguasa atau hakim dan selain keduanya dari orang-orang yang memiliki kekuasaan atau kemampuan untuk mengadili si dzalim itu. Orang yang didzalimi itu boleh mengatakan si fulan itu telah mendzalimi/ menganiaya diriku.

2. Meminta pertolongan untuk merubah kemungkaran dan mengembalikan orang yang berbuat dosa kepada kebenaran. Seseorang boleh mengatakan kepada yang memiliki kekuatan yang ia harapkan bisa merubah kemungkaran: si fulan itu berbuat kejahatan ini dan itu, maka nasehati dia dan larang dia berbuat jahat. Maksud ghibah di sini adalah merubah kemungkaran/ kejahatan, jika tidak bermaksud seperti ini maka ghibah tersebut haram.

3. Meminta fatwa. Orang itu mengatakan kepada sang pemberi fatwa: ayahku atau saudaraku atau suamiku telah mendzalimi diriku, apakah hal itu boleh? Bagaimana jalan keluarnya? Ghibah seperti ini boleh karena suatu kebutuhan/ tujuan (yang syar’i- pent). Tapi yang lebih utama tidak disebutkan (personnya/ namanya) semisal: Bagaimana pendapat Syaikh tentang seorang suami atau ayah yang begini dan begitu? Hal ini juga bisa dilakukan dan dapat mencapai tujuan yang diinginkan meskipun tanpa menyebut nama / personnya. Tapi menyebutkan nama/ personnya dalam hal ini hukumnya boleh seperti yang akan disebutkan dalam hadits Hindun –insya Allah-.

4. Memperingatkan kaum Muslimin dari bahaya kesesatan (seseorang/ kelompok –pent) dan sekaligus dalam rangka saling menasihati. Yang demikian itu mencakup beberapa hal:

* Mencela para perawi-perawi (hadits) atau para saksi yang tidak memenuhi syarat. Hal ini dibolehkan secara ijma’ kaum muslimin bahkan bisa jadi hal tersebut wajib hukumnya.

* Meminta pendapat/ musyawarah orang lain dalam hal menikahi seseorang atau bergaul dengannya atau meninggalkannya atau dalam hal bermuamalah dengannya. Maka wajib bagi yang diajak bermusyawarah untuk tidak menyembunyikan sesuatu apapun tentang keadaan orang tersebut bahkan dia harus menyebutkan semua kejelekannya dengan niat saling menasihati.

* Apabila seseorang melihat penuntut ilmu sering berkunjung kepada ahli bid’ah (dai penyesat-pent) atau fasik untuk mengambil ilmu darinya dan dia khawatir si penuntut ilmu itu akan terkena racun kesesatan orang tersebut maka wajib baginya untuk menasihati si penuntut ilmu dengan mnejelaskan hakekat (kesesatan) sang guru/ dai penyesat itu dengan syarat tujuannya untuk menasehati. Dalam hal ini ada sebagian orang yang salah mempraktekkanya, dia tujuannya bukan untuk menasehati tapi karena hasad/ dengki dengan orang yang ditahdzir (dighibahi itu), yang telah dihiasi oleh syaitan seolah-olah dia menasehati tapi hakekatnya dia hasad dan dengki.

* Seseorang yang memiliki tanggungjawab/ tugas tapi dia tidak menjalankannya dengan baik atau dia itu fasik atau lalai. Maka boleh bagi yang mengetahuinya untuk menyebutkan keadaan orang tersebutkepada atasannya agar memecatnya dan menggantinya dengan yang lebih baik atau agar hanya diketahui keadaannya saja lalu diambil tindakan hingga atasannya tidak tertipu dengannya atau agar atasannya tersebut menasehatinya kepada kebaikan.

5. Menyebutkan aib orang yang menampakkan kefasikan dan bid’ahnya seperti orang yang bangga meminum khomer, menganiaya orang lain, merampas harta dan melakukan hal-hal yang batil. Boleh bagi orang yang mengetahui keadaan orang di atas untuk menyebutkan aib-aibnya (agar ornag lain berhati-hati darinya -pent).

6. Mengenalkan orang lain dengan menyebut gelar (laqob)nya yang sudah terkenal, misalnya Al A’masy (yang cacat matanya), Al-A’raj (yang pincang), Al-Ashom (yang tuli) dan selainnya. Boleh mengenalkan dengan julukan-julukan di atas tapi tidak untuk mencela/ mengejeknya dan seandainya mengenalkan tanpa menyebutkan julukan-julukan tersebut ini lebih baik.

Inilah keenam perkara yang disebutkan oleh para ulama (dalam membolehkan ghibah-pent) kebanyakannya telah disepakati dan dalil-dalil keenam perkara tersebut ada dalam hadits-hadits shohih yang sudah masyhur/ terkenal, diantaranya:

* Dari Aisyah رضي الله عنها beliau berkata:

“Bahwa ada seorang yang meminta ijin untuk (menemui) Nabi صلى الله عليه وسلّم , maka beliau mengatakan: Ijinkanlah dia, dia adalah sejelek-jeleknya kerabat.” (HR. Bukhari 6054 dan Muslim 2591)

Imam Bukhari berdalil dengan hadits ini dalam membolehkan ghibah terhadap para perusak (penyesat).

* Dan dari beliau juga رضي الله عنها bahwa Rasulullah صلى الله عليه وسلّم pernah bersabda:

“Aku kira fulan dan fulan itu tidak mengetahui sesuatupun dari agama kita.” (HR. Bukhari 6067). Laits bin Sa’ad (salah seorang perawi hadits ini), mengatakan: dua ornag tersebut termasuk orang-orang munafik.

* Dari Fatimah binti Qais رضي الله عنها dia berkata:

“Aku pernah mendatangi Nabi صلى الله عليه وسلّم lalu aku berkata: Sesungguhnya Abu jahm dan Mu’awiyah telah melamarku? Maka Rasulullah صلى الله عليه وسلّم mengatakan: “Adapun Mu’awiyah dia itu miskin tidak punya harta dan adapun Abu Jahm maka dia tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya.” (HR. Muslim 1480).

Di dalam riwayat Muslim yang lain disebutkan: “Adapun Abu Jahm maka dia sering memukul perempuan” ini adalah penjelasan atas ucapan beliau (dia tidak pernah meletakkan tongkat dair pundaknya). Ada juga yang menjelaskan bahwa maksudnya adalah sering bepergian jauh/ safar.

* Dari Aisyah رضي الله عنها beliau berkata:

Hindun (istri Abu Sufyan) berkata kepada Nabi صلى الله عليه وسلّم : Sesungguhnya Abu Sufyan seorang lelaki yang bakhil dia tidak memberiku dan anak-anakku nafkah yang cukup melainkan jika aku mengambil uangnya tanpa sepengetahuannya? Maka beliau bersabda: “Ambillah apa yang mencukupimu dan anak-anakmu dengan cara yang baik.” (HR. Bukhari 5359 dan Muslim 1714).

2. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin –rahimahullah- mengatakan dalam Syarah Riyadhus Shalihin 4/99-101 ketika menjelaskan ucapan Imam nawawi di atas:

“Imam Nawawi رحيمه الله menyebutkan dalam bab ini hal-hal yang dibolehkan ghibah di dalamnya yaitu ada enam perkara. Ucapan beliau ini sangat baik sekali, semuanya benar dan baik” kemudian beliau menjelaskan hadits pertama yang dibawakan oleh Imam Nawawi رحيمه الله : Sabda Nabi صلى الله عليه وسلّم : (ijinkanlah dia, dia itu sejelek-jeleknya kerabat) orang tersebut memang perusak dan penyesat. Maka hal ini menjelaskan bolehnya mengghibah para penyesat umat agar manusia lari dari kesesatannya dan agar mereka tidak tertipu. Jika anda mengetahui ada seseorang yang sesat (dan menyesatkan) tapi dia memiliki keistimewaan gaya bahasa dan retorika dalam menyampaikan (ceramah) serta menarik manusia hingga mereka tidak sadar sudah terjerumus ke dalam jarring-jaring kesesatan maka wajib bagimu untuk menjelaskan hakekat orang yang sesat tersebut dan menjelaskan kejelekannya (saja) agar manusia tidak tertipu dengannya. Berapa banyak para dai-dari-penceramah-penceramah yang sangat indah dan fasih bahasanya, jika anda melihatnya anda akan terpesona dan jika dia berbicara anda akan dengan seksama mendengarkannya akan tetapi dia itu hakekatnya (penyesat umat). Maka yang wajib adalah menyingkap hakekat dan kedoknya.”

-bersambung insya Allah-

[Disalin dari majalah adz Dzakhiirah al islamiyyah edisi 15 Th. III Rajab 1426 H/ Agustus 2005 M. Dipublikasikan kembali oleh www.salafiyunpad.wordpress.com]


0 komentar:


Posting Komentar

ist tes upload

Banner Link Islami

Bisnis dan rezeki

pengusaha Photobucket

Pustaka Sunnah

tibyan naba

Blog Archive