rss

Rabu, 28 Oktober 2009

Haji, Antara Tauhid Dan Pembinaan Pribadi Muslim

Alangkah besarnya kebutuhan manusia kepada pembinaan dan pembersihan jiwanya, apalagi ketika dosa bertumpuk-tumpuk dihatinya akibat kemaksiatan dan tingkah polahnya. Alangkah besarnya kebutuhan manusia kepada pembersihan jiwa, ketika akal dan suluk(perilaku)-nya telah dikotori penyimpangan dari jalan Allah.

Ketika itulah terasa betapa besar kebutuhan manusia kepada obat yang dapat menyembuhkan hati dan akalnya. Memang membersihkan jiwa merupakan satu kebutuhan mendesak dan penting yang harus dicari dan dijalankan seorang manusia.


Allah Ta’ala berfirman:

فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا قَدْ أَفْلَحَ مَن زَكَّاهَا وَقَدْ خَابَ مَن دَسَّاهَا

“Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketaqwaan, sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya” (QS. Asy Syams:8-10)

Ibadah haji yang sudah diambang pintu ini disyariatkan untuk mensucikan jiwa kaum muslimin, sebagaimana disampaikan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dalam sabdanya:

مَنْ حَجَّ فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ كَمَا وَلَدَتْهُ أُمُّهُ

“Barang siapa berhaqji, lalu tidak berbuat keji dan kefasikan, maka ia keluar dari dosanya seperti ketika ibunya melahirkannya” (HR. Muslim no.2404)

Syaikh Abdul Aziz bin Baaz menyatakan: “Semua syariat Allah kepada hambanya berupa ketaatan, amalan yang mendekatkan diri (amalan taqarrub) dan hal-hal yang dihalalkan dan diharamkan dari perkataan dan perbuatan diadakan untuk mensucikan jiwa mereka dan memperbaiki masyarakat mereka”.[1]

Demikianlah haji satu syiar Allah yang disyariatkan untuk mensucikan jiwa dan membinanya menjadi seorang yang takwa, sebagaimana firman Allah:

وَمَنْ يُعَظِمْ شَعَاائرَ اللهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَ القُلُوْبِ

“Dan barangsiapa mengagungkan syiar-syiar Allah maka itu termasuk ketakwaan hati” (QS. Al Hajj:30)

Apalagi ibadah haji adalah ajaran yang Allah bebankan kepada Nabi Ibrahim dan ibadah yang diwajibkan kepada para hambaNya.

Allah berfirman:

وَللهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلاً

“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah” (QS. Al Imran: 97)

dan firmanNya:

وَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ للهِ

“Dan sempurnakanlah ibadah haji dan ‘umrah karena Allah” (QS. Al Baqarah:196)

Bahkan lebih dari itu, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pun menjadikannya sebagai salah satu rukun islam yang lima dalam sabdanya:

بُنِيَ الْإِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَالْحَجِّ وَصَوْمِ رَمَضَانَ

“Islam dibangun diatas lima perkara, syahadatain, menegakkan sholat, menunaikan zakat, berhaji dan puasa Ramadhan” (Muttafaqun ‘Alaihi).

Memang pantas, bila haji dapat membina dan membersihkan jiwa seorang muslim, karena berisi tauhid dan pendidikan serta pembinaan yang mengarah kepada pembentukan pribadi muslim yang berakhlak mulia dan luhur.
Haji dan Tauhid

Ibadah haji tidak dapat dipisahkan dari ajaran tauhid dan prakteknya, hal ini tampak jelas dalam realitas yang terjadi dalam ibadah tersebut. Hal ini dapat digambarkan dalam amalan-amalannya, diantaranya:

1. Perintah Allah untuk mengikhlaskan ibadah haji hanya kepadaNya, seperti firman Allah:

وَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ للهِ

“Dan sempurnakanlah ibadah haji dan ‘umrah karena Allah” (QS. Al Baqarah:196)

Hal ini menunjukkan haji dan umroh tidak diterima kecuali harus terwujud keikhlasan yang merupakan realitas tauhid padanya.
2. Perintah Allah untuk mempersiapkan bekal dan nafaqah sehingga tidak membebani orang lain, seperti firman Allah:

الْحَجُّ أَشْهُرُُ مَّعْلُومَاتُُ فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلاَ رَفَثَ وَلاَ فُسُوقَ وَلاَ جِدَالَ فِي الْحَجِّ وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ يَعْلَمْهُ اللهُ وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى وَاتَّقُونِ يَاأُوْلِي اْلأَلْبَابِ

“(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan Haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah taqwa dan bertaqwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal” (QS. Al Baqarah: 197)

Syaikh DR. Shalih bin Abdillah bin Fauzan menyatakan: “Dahulu banyak orang berhaji tanpa membawa bekal cukup dan beranggapan kami tawakal (kepada Allah saja), akhirnya mereka menjadi tanggungan orang lain. Ketika Allah perintahkan mempersiapkan bekal duniawi (materi) untuk safar dunia, maka Allahpun memerintahkan untuk mempersiapkan bekal maknawi dalam safar akherat ini dalam firmanNya:

وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى

“Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah taqwa” (QS. Al Baqarah:197)

Siapa yang tidak mempersiapkan sama sekali bekal tersebut, maka akan terputus perjalanannya dan tidak sampai ke Surga. Lalu Allah tutup ayat ini dengan firmanNya:

وَاتَّقُونِ يَاأُوْلِي اْلأَلْبَابِ

“Bertaqwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal” (QS. Al Baqarah:197)

Ini merupakan seruan umum kepada orangyang berakal untuk bedrtakwa dalam ibadah haji dan selainnya”.[2]
3. Perintah mengangkat suara dalam talbiyah setelah ihram menunjukkan perintah menampakkan I’tikadnya tentang tauhid, karena talbiyah berisi tauhid dengan seluruh bagiannya. Tentunya hal ini menunjukkan arti penting tauhid dalam ibadah haji.
4. Do’a paling utama yang dibaca ketika wukuf di Arafah adalah:

لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam:

خَيْرُ الدُّعَاءِ دُعَاءُ يَوْمِ عَرَفَةَ وَخَيْرُ مَا قُلْتُ أَنَا وَالنَّبِيُّونَ مِنْ قَبْلِي لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

“Sebaik-baik do’a adalah do’a arofah dan sebaik-baik yang akudan para Nabi sebelumku baca (waktu itu) adalah:

لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

(HR. At Tirmidzi)

Ini merupakan pemberitahuan kepada semua orang pada hari itu tentang masalah tauhid ibadah. Ini dapat dilihat dari makna dan keutamaannya agar setiap muslim yang menunaikan ibadah haji merasakan maknanya lalu memurnikan ibadah dengan ikhlas tanpa dikotori kesyirikan sedikitpun.
5. Perintah thawaf di Ka’bah dalam firman-Nya:

وَلْيَطَّوَّفُوا بِالْبَيْتِ الْعَتِيقِ

“Dan hendaklah mereka melakukan Thawaf sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah)” (QS. Al Hajj: 29)

Ayat yang mulia ini menunjukkan bahwa thawaf khusus dilakukan hanya di Ka’bah ini saja, tidak boleh diselainnya, sehingga seluruh thawaf di selain ka’bah adalah batil dan bukan ibadah yang diterima. Demikian juga ketika istilam (menyentuh Hajar Aswad), hendaklah dilakukan dengan keyakinan itu hanyalah syiar Allah yang dilakukan karena mencontoh dan mentaati Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, sebagaimana dilakukan Khalifah Amirul Mukminin Umar bin Al Khathab ketika menyentuh dan menciumnya:

أَمَ وَاللَّهِ لَقَدْ عَلِمْتُ أَنَّكَ حَجَرلاَ تَنْفَعُ ولاَ تَضُرُّ لَوْلَا أَنِّي رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقَبِّلُكَ مَا قَبَّلْتُكَ

“Demi Allah sesungguhnya aku mengetahui engkau sebuah batu yang tidak memberi manfaat dan mudhorot, seandainya aku tidak melihat Rasulullih menciummu tentu aku tidak menciummu” (Mutafaqun ‘Alaihi)

Berdasarkan hal ini tidak boleh seorang muslim mengusap-usap batu kuburan, keramat dan sejenisnya karena tidak diperintahkan dan dicontohkan.
6. Shalat dua rakaat setelah thowaf dengan membaca pada rakaat pertama surat Al Kafirun dan kedua surat Al Ikhlas. Kedua surat ini terkandung seluruh jenis tauhid dan sikap Bara’ (berlepas diri) dari agama dan orang musyrik. Dengan demikian seorang yang berhaji dituntut untuk mengenal Rabb-nya dan mengikhlaskan seluruh amalannya hanya kepada Allah serta berlepas dari kesyirikan dan pelakunya.
7. Demikian juga pada ibadah Sa’i antara Shafa dan Marwa. Seorang hamba melaksanakannya karen perintah Allah dalam firman-Nya:

إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِن شَعَآئِرِ اللهِ فَمَنْ حَجَّ الْبَيْتَ أَوِ اعْتَمَرَ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِ أَن يَطَّوَّفَ بِهِمَا وَمَن تَطَوَّعَ خَيْرًا فَأِنَّ اللهَ شَاكِرٌ عَلِيمٌ

“Sesungguhnya Shafaa dan Marwa adalah sebagian dari syi’ar Allah. Maka barang siapa yang beribadah haji ke Baitullah atau ber’umrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa’i di antara keduanya. Dan barang siapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati, maka sesungguhnya Allah Maha mensyukuri kebaikan lagi Maha Mengetahui” (QS. Al Baqarah: 158)

dari sini seorang muslim dapat mengetahui Sa’i hanya dilakukan di Shafa dan Marwa,karena ia merupakan syiar Allah. Sa’i pada tempat ini dilaksanakan karena dasar perintah Allah, sehingga Sa’i di selain tempat ini dilarang.
8. Ibadah yang disyariatkan pada hari tasyriq berupa dzikir kepada Allah sebagaimana firman-Nya:

وَاذْكُرُوا اللهَ فِي أَيَّامٍ مَّعْدُودَاتٍ فَمَن تَعَجَّلَ فِي يَوْمَيْنِ فَلآَإِثْمَ عَلَيْهِ وَمَن تَأَخَّرَ فَلآَإِثْمَ عَلَيْهِ لِمَنِ اتَّقَى وَاتَّقُوا اللهَ وَاعْلَمُوا أَنَّكُمْ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ

“Dan berzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang berbilang. Barang siapa yang ingin cepat berangkat (dari Mina) sesudah dua hari, maka tiada dosa baginya. Dan barang siapa yang ingin menangguhkan (keberangkatannya dari dua hari itu), maka tidak ada dosa pula baginya bagi orang yang bertaqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah dan ketauhilah, bahwa kamu akan dikumpulkan kepada-Nya” (QS. Al Baqarah: 203)

Dzikir kepada Allah dalam hari-hari ini ditampakkan dengan amalan-amalan agung yang dilakukan di Mina, berupa melempar jumrah, menyembelih kurban, shalat lima waktu. Semua amalan ini merupakan dzikir. Lihat saja dalam melempar jumrah seorang muslim bertakbir setiap kali lemparan. Demikian juga dalam menyembelih kurban merupakan dzikir sebagaimana firman Allah:

لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللهِ فِي أَيَّامٍ مَّعْلُومَاتٍ عَلَى مَارَزَقَهُم مِّن بَهِيمَةِ اْلأَنْعَامِ فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَآئِسَ الْفَقِيرَ

“Supaya mereka mempersaksikan berbagai manfa’at bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara lagi fakir” (QS. AlHajj: 28)

dan firmanNya:

وَالْبُدْنَ جَعَلْنَاهَا لَكُم مِّن شَعَآئِرِ اللهِ لَكُمْ فِيهَا خَيْرٌ فَاذْكُرُوا اسْمَ اللهِ عَلَيْهَا صَوَآفَّ فَإِذَا وَجَبَتْ جُنُوبُهَا فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْقَانِعَ وَالْمُعْتَرَّ كَذَلِكَ سَخَّرْنَاهَا لَكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

“Dan telah Kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebahagian dari syiar Allah, kamu memperoleh kebaikan yang banyak padanya, maka sebutlah olehmu nama Allah ketika kamu menyembelihnya dalam keadaan berdiri (dan telah terikat). Kemudian apabila telah roboh (mati), maka makanlah sebahagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta. Demikianlah Kami telah menundukan unta-unta itu kepada kamu, mudah-mudahan kamu bersyukur” (QS. Al Hajj: 36)

Dari sini seorang muslim dapat mengetahui bahwa menyembelih kurban termasuk ibadah, tidak boleh dilakukan untuk selain Allah, baik berupa kuburan, para wali yang telah mati, ataupun jin, seperti mempersembahkan kepala kerbau atau menyembelih sembelihan untuk dipersembahkan kepada para jin penunggu laut atau dewi dan dewa atau yang lainnya.
9. Diantara syiar tauhid yang lainnya yang tampak dalam ibadah haji adalah perintah Allah untuk berdzikir ditengah-tengah manasik dan setelah selesai darinya. Juga larangan dzikir kepada selain Allah seperti dalam firmanNya:

لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَن تَبْتَغُوا فَضْلاً مِّن رَّبِّكُمْ فَإِذَآ أَفَضْتُم مِّنْ عَرَفَاتٍ فَاذْكُرُوا اللهَ عِندَ الْمَشْعَرِ الْحَرَامِ وَاذْكُرُوهُ كَمَا هَدَاكُمْ وَإِن كُنتُم مِّن قَبْلِهِ لَمِنَ الضَّآلِّينَ

“Tidak ada dosa bagimu mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari Rabbmu. Maka apabila kamu telah bertolak dari ‘Arafat, berzikirlah kepada Allah di Masy’aril haram. Dan berzikirlah (dengan menyebut) Allahsebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepadamu; dan sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar termasuk orang -orang yang sesat” (QS. Al Baqarah:198)

Demikianlah haji penuh berisitauhid dan syiar-syiarnya. Seharusnya hal ini membuat seorang jamaah haji dapat membina dirinya menjadi seorang muwahid dengan sarana ibadah haji ini.

Haji dan Pembinaan Pribadi Muslim

Haji merupakan satu ibadah agung yang berisi pembinaan dan pendidikan terhadap seorang muslim agar menjadi hamba Allah yang shalih.

Syaikh Abdul Aziz bin Baaz berkata: “Haji merupakan salah satu kewajiban besar bagi para hamba untuk mensucikan dan menyelamatkan jiwa mereka dari permusuhan, kebencian, ambisius dan sikap-sikap jelek lainnya. Juga (disyariatkan) untuk memotivasi jiwa agar mendapatkan pahala Allah dan mengingatkannya pada perjumpaan Allah dihari pembalasan. Ini disebabkan kandungan ibadah haji yang agung berupa penyerahan segala kemampuan dan harta, menahan lelah dan susah dan meninggalkan keluarga, kampung halaman serta pekerjaan duniawi lainnya. Mereka menghadap Allah dengan melaksanakan ketaatan dan ibadah (semata). Juga (dalam ibadah ini) mereka berkumpul dengan saudara-saudara mereka seagama yang datang dari segala penjuru dunia untuk mendapatkan kemanfaatan (yang berguna) untuk mereka.

لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللهِ فِي أَيَّامٍ مَّعْلُومَاتٍ

“Supaya mereka mempersaksikan berbagai manfa’at bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan” (QS. Al Hajj: 28)[3]

Hal ini dapat dilihat jelas dalam amalan-amalannya,diantaranya:

1. Kesamaan pakainan ihram. Hal ini cukup menjelaskan adanya dasar kesamaan dan persamaan dalam islam. Kesamaan para jamaah haji dalam satu bentuk dan pakaian mendidik jiwa seorang untuk meninggalkan segala bnentuk rasialisme, perbedaaan status sosial, suku, bangsa atau warga negara. Demikian juga ini membina jiwa untuk membeda-bedakan orang karena kekayaan, martabat, jabatan dan lain-0lain. Sehingga ketakwaan dan amal shaleh-lah yang akan membedakan seseorang dengan yang lainnya Allah berfirman:

إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللهِ أَتْقَاكُمْ

“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu” (QS. Al Hujurat: 13)

Juga hal ini berisi pendidikan dan pembinaan pribadi muslim diatas dasar makna ibadah, ketaatan yang tulus dan meninggalkan gemerlap dunia dan perhiasannya, karena mereka berada dalam satu tempat, satu ketaatan dan satu tata cara dan pakaian. Tentunya hal ini membina seorang muslim untuk ber-tawadhu’ dan merasa sama dengan sesamanya.
2. Talbiyah yang diucapkan para jamaah haji juga mendidik merekea untuk bersdegera memenuhi perintah Allah dengan lisannya, ketika mereka mengucapkan “Labaik Allahumma labaik….”
3. Para jamaah haji meninggalkan keluarga, kampung halaman, harta, anaknya hanya untuk menghadap Allah dan memenuhi panggilannya. Hal ini dilakukan dengan menempuh perjalanan yangcukup melelahkan. Tentunya semua ini merupakan pembinaan dan pendidikan terhadap peribadi muslim untuk selalu menerima dan memenuhi perintah Allah walaupun hjarus mengorbankan segala sesuatu yang ada. Juga membina untuk bersegera dan langsung melaksanakan perintah Allah.
4. Thawaf mengelilingi ka’bah mendidik dan membina kaum muslimin agar memiliki kesatuan tujuan dan meninggalkan perpecahan dan perselisihan. Gerakan thawaf yang mengelilingi satu tempat memberikan isyarat keharusan mengambil satu jalan yaitu jalan yang yang lurus yang tidak ada pernyimpangannya, sebagaimana firman Allah:

وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلاَتَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ذَالِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertaqwa” (QS. Al An’am:153)
5. Wukuf di Arafah mendidik kaum muslimin untuk menyatukan barisan dan kekuatan serta merapatkan persatuan dan kesatuannya. Mereka tinggal menetap di satu tempat dari berbagai jenis, suku bangsa, warna dan tempat asal hanya untuk satu tujuan dan satu tempat. Hal ini sangat mungkin terjadi karena Rabb, Al Qur’an, Nabi, Aqidah dan panutan mereka satu.
6. Melempar jumrah mendidik seorang muslim menjauhi dan memerangi syaitan dengan dzikir kepada Allah dalam setiap lemparan batu dan juga mendidik seorang muslim untuk mencontoh dan meneladani Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam.
7. Pilihan mencukur gundul rambut atau menipiskannya mendidik seorang muslim untuk dapat memilih sesuai dengan keadaan dan keinginannya. Hal ini juga menunjukkan syariat islam selalu memperhatikan keinginan pribadi dan tabiat manusia dan memotivasi mereka mengambil amalan yang lebih baik dan besar pahalanya.
8. Kaitan ibadah hati dengan syarat kemampuan mendidik seorang muslim untuk tidak membebeni dirinya dengan sesuatu yang tidak ia mempui. Sehingga dari sini tampak bahwa pendidikan islam selalu memperhatikan kemampuan dan kemudahan.
9. Rukun haji dan tertib manasiknya membina seorang muslim untuk teliti, tertib dan disiplin baik disiplinb peraturan atau waktu.
10. Perintah memperbanyak dzikir dan do’a di hari-hari haji membina dan mendidik seorang muslim untuk selalu ingat kebesaran Allah dan selalu berdzikir dan juga ada anjuran memperbanyak amalan shalih agar senantiasa memiliki hubungan dengan Allah.
11. Haji hanya diwajibkan bagi yang mampu sekali seumur hidup. Hal ini memberikan kesempatn kepada semua orang untuk berhaji dan memberikan kemudahan kepada kaum muslimin.
12. Larangan-larangan Ihram dari hal-hal yang mubah seperti jima’, minyak wangi, berpakaian yang dijahit, berburu dan lain-lainnya sangat membina dan mendidik seorang muslim tidak melakukan perbuatan haram dan terlarang dan membina keimanannya kepada perintah Allah sehingga dengan demikian dapat memberikan ketenangan dan keamanan diri dan alam semesta.Dengan demikian ibadah haji memiliki satu arti penting dalam pembinaan dan pendidikan seorang muslim karena berisi tauhid dan syiar-syiarnya serta berisi pendidikan praktis kepada pribadi muslim yang dimudahkan melakukan ibadah ini. Sehingga benarlah sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam:

مَنْ حَجَّ فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ كَمَا وَلَدَتْهُ أُمُّهُ

“Barang siapa berhaqji, lalu tidak berbuat keji dan kefasikan, maka ia keluar dari dosanya seperti ketika ibunya melahirkannya” (HR. Muslim no.2404)

Dengan demikian salahlah mereka yang menunaikan ibadah haji hanya untuk mendapat kehormatan dan kedudukan atau hanya sebagai wisata dan hiburan semata.

Marilah kita jadikan haji kita sarana pendidikan dan pembinaan diri untuk mencapai insan yang kamil.



Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc
Artikel UstadzKholid.Com

[1] Majalah At Tau’iyah Al Islamiyah, edisi 212/ Dzulhijah 1416 hal 37

[2] ibid hal 41

[3] Majalah At Tau’iyah Al Islamiyah, edisi 212/ Dzulhijah 1416 hal 37


0 komentar:


Posting Komentar

ist tes upload

Banner Link Islami

Bisnis dan rezeki

pengusaha Photobucket

Pustaka Sunnah

tibyan naba

Blog Archive