rss

Bersabarlah dirimu di atas Sunnah, tetaplah tegak sebagaimana para Shahabat tegak di atasnya. Katakanlah sebagaimana yang mereka katakan, tahanlah dirimu dari apa-apa yang mereka menahan diri darinya. Dan ikutilah jalan Salafush Shalih karena akan mencukupi kamu apa saja yang mencukupi mereka.

Rabu, 30 September 2009

Kitabul Ilmi dalam Shahih Bukhari [bagian 2]

Dilengkapi penjelasan al-Hafizh Ibnu Hajar al-’Asqolani

بسم الله الرحمن الرحيم

Bab 3. Orang yang mengangkat suaranya untuk menyampaikan ilmu

حدثنا أبو النعمان عارم بن الفضل قال حدثنا أبو عوانة عن أبي بشر عن يوسف بن ماهك عن عبد الله بن عمرو قال : تخلف عنا النبي صلى الله عليه و سلم في سفرة سفرناها فأدركنا – وقد أرهقتنا الصلاة – ونحن نتوضأ فجعلنا نمسح على أرجلنا فنادى بأعلى صوته ( ويل للأعقاب من النار ) . مرتين أو ثلاثا

Abu an-Nu’man ‘Arim bin al-Fadhl menuturkan kepada kami. Dia berkata: Abu Awanah menuturkan kepada kami dari Abu Bisyr dari Yusuf bin Mahak dari Abdullah bin Amr radhiyallahu’anhu. Dia berkata: Suatu ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tertinggal dari rombongan dalam sebuah perjalanan yang kami lakukan. Lalu beliaupun berhasil menyusul kami namun waktu sholat sudah demikian sempit. Kami pun segera berwudhu seolah-olah hanya dengan mengusap kaki kami. Maka beliau pun berseru dengan suara keras, “Celakalah tumit-tumit -yang tidak terbasuh air- oleh jilatan api neraka.” Beliau mengucapkannya dua atau tiga kali (Hadits no. 60, disebutkan secara berulang pada hadits no. 96 dan 163)

Keterangan:

1. Penulis -yaitu Imam Bukhari- berdalil dengan hadits ini untuk menyatakan bolehnya mengangkat suara demi menyampaikan ilmu. Tentu saja penarikan kesimpulan ini akan lengkap apabila disertai dengan alasan untuk melakukannya seperti karena tempat yang berjauhan, banyaknya orang yang berkumpul, atau alasan lainnya. Terlebih lagi jika itu berupa nasehat dan peringatan. Hal itu sebagaimana dikisahkan dalam hadits Jabir, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila berkhutbah yang menceritakan tentang hari kiamat maka kemurkaan beliau memuncak dan suaranya pun meninggi…” (HR. Muslim)
2. Hadits ini juga menjadi dalil disyari’atkannya mengulangi pembicaraan demi memahamkan orang yang sedang diajak bicara (Silahkan periksa Fathul Bari [Juz 1 halaman 175] penerbit Darul Hadits cet. 1424 H).

Bab 4. Ucapan Muhaddits (ahli hadits), ‘haddatsana’ (menuturkan kepada kami), atau ‘akhbarana’ (mengabarkan kepada kami) dan ‘anba’ana’ (memberitakan kepada kami)

وقال لنا الحميدي كان عند ابن عيينة حدثنا وأخبرنا وأنبأنا وسمعت واحدا . وقال ابن مسعود حدثنا رسول الله صلى الله عليه و سلم وهو الصادق المصدوق . وقال شقيق عن عبد الله سمعت النبي صلى الله عليه و سلم كلمة . وقال حذيفة حدثنا رسول الله صلى الله عليه و سلم حديثين . وقال أبو العالية عن ابن عباس عن النبي صلى الله عليه و سلم فيما يروي عن ربه . وقال أنس عن النبي صلى الله عليه و سلم يرويه عن ربه عز و جل . وقال أبو هريرة عن النبي صلى الله عليه و سلم يرويه عن ربكم عز و جل

al-Humaidi mengatakan kepada kami bahwa menurut Ibnu Uyainah ungkapan ‘haddatsana’ (menuturkan kepada kami), ‘akhbarana’ (mengabarkan kepada kami), ‘anba’ana’ (memberitakan kepada kami) , dan ’sami’tu’ (saya mendengar) itu sama status hukumnya. Ibnu Mas’ud mengatakan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menuturkan kepada kami sementara beliau adalah orang yang benar lagi dibenarkan. Syaqiq mengatakan dari Abdullah -bin Mas’ud-, beliau berkata: Aku mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan suatu kalimat. Hudzaifah berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menuturkan kepada kami dua buah hadits. Abul ‘Aliyah mengatakan dari Ibnu Abbas dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam apa-apa yang beliau riwayatkan dari Rabbnya. Anas berkata: Dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang meriwayatkan dari Rabbnya ‘azza wa jalla. Abu Hurairah berkata: dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang meriwayatkan dari Rabb kalian ‘azza wa jalla.

Keterangan:

1. Potongan-potongan riwayat ini menunjukkan bahwa para sahabat tidak membeda-bedakan ungkapan penuturan hadits. Terkadang mereka mengatakan ‘haddatsana’, dan terkadang mengatakan ’sami’tu’. Dan menurut mereka itu semua sama saja. Hal itu dapat diketahui dari perbedaan lafazh hadits Ibnu Umar -yang akan disebutkan sesudah ini- melalui berbagai jalur periwayatannya. Di sebagian riwayat Nabi mengatakan, ‘Hadditsuni’ (tuturkan kepadaku), seperti dalam bab ini. Dalam riwayat lain dalam Kitab Tafsir dikatakan ‘akhbiruni’ (kabarkan kepadaku). Dalam riwayat lainnya melalui jalan al-Isma’ili dikatakan ‘anbi’uni’ (beritakan kepadaku). Bahkan di dalam riwayat lainnya dengan ungkapan dari para sahabat ‘akhbirna’ (kabarkan kepada kami). Ini semua menunjukkan bahwa dalam pandangan para sahabat tahdits (perkataan haddatsana), ikhbar (perkataan akhbarana), dan inba’ (perkataan anba’ana) sama saja status hukumnya yaitu bersambung riwayatnya sampai kepada Nabi. Hal itu dengan syarat memang benar-benar telah terjadi perjumpaan antara orang yang meriwayatkan (baca: sahabat) dengan sumbernya (baca: Nabi). Mereka tidak mengkhususkan misalnya: ungkapan haddatsani dipakai apabila seorang murid mendapatkan hadits seorang diri dari gurunya, haddatsana apabila dia mendapatkannya bersama dengan sekumpulan orang. Atau ungkapan akhbarani dipakai apabila dia membaca sendiri di depan gurunya, sedangkan apabila dia mendengar bacaan orang lain di depan gurunya maka dipakai ungkapan akhbarana. Pembedaan semacam itu dimunculkan oleh para ulama setelah masa sahabat dengan tujuan untuk mengetahui perbedaan kondisi ketika hadits itu diterima periwayatannya (proses tahammul). Bagi mereka pun pembedaan ini adalah perkara yang dianjurkan, bukan sesuatu yang wajib dilakukan.
2. Keabsahan riwayat dengan redaksi yang berlainan ini -dengan syarat keberadaan sahabat yang menyampaikan hadits, bukan tingkatan di bawah sahabat, pen- menunjukkan bolehnya berargumentasi/berhujjah dengan hadits-hadits yang dikategorikan sebagai mursal [1] shahabi. Namun hal ini khusus berlaku untuk hadits-hadits hukum saja, bukan untuk selainnya disebabkan ada sebagian sahabat yang justru mengambil riwayat dari sebagian tabi’in seperti Ka’ab al-Ahbar, demikian papar al-Hafizh Ibnu Hajar (Silahkan periksa Fathul Bari [Juz 1 halaman 176-177] penerbit Darul Hadits cet. 1424 H).

حدثنا قتيبة حدثنا إسماعيل بن جعفر عن عبد الله بن دينار عن ابن عمر قال : قال رسول الله صلى الله عليه و سلم ( إن من الشجر شجرة لا يسقط ورقها وإنها مثل المسلم فحدثوني ما هي ) . فوقع الناس في شجر البوادي قال عبد الله ووقع في نفسي أنها النخلة فاستحييت ثم قالوا حدثنا ما هي يا رسول الله ؟ قال ( هي النخلة )

Qutaibah menuturkan kepada kami. Dia berkata: Isma’il bin Ja’far menuturkan kepada kami dari Abdullah bin Dinar dari Ibnu Umar radhiyallahu’anhuma, beliau berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya di antara berbagai jenis pohon ada sebuah jenis pohon yang tidak gugur daun-daunnya. Pohon itu merupakan perumpamaan sosok seorang muslim. Tuturkanlah kepadaku apa gerangan pohon itu.” Maka pikiran orang-orang pun melayang ke berbagai jenis pohon yang tumbuh di padang pasir. Abdullah -yaitu Ibnu Umar sendiri- berkata: Di dalam pikiranku terbetik bahwa pohon itu adalah kurma, namun aku malu untuk mengatakannya. Maka mereka pun bertanya, “Tuturkanlah kepada kami apa gerangan pohon itu wahai Rasulullah?”. Beliau menjawab, “Itu adalah pohon kurma.” (Hadits no. 61, disebutkan secara berulang pada hadits no. 62,72,131,2209,4698,5444,5448,6132,6144)

Keterangan:

1. Hadits ini menunjukkan dianjurkannya mengadakan kuis/ujian dalam proses pembelajaran. Sudah semestinya orang yang memberikan pertanyaan (baca: penguji) berusaha sedemikian rupa untuk menyamarkan jawaban agar tidak tersisa celah sedikit pun bagi orang lain untuk mengetahuinya berdasarkan teks ucapan atau pertanyaannya. Adapun bagi orang yang ditanya maka seharusnya dia pandai-pandai menangkap maksud si penanya dengan memperhatikan indikasi-indikasi yang ada. Hal itu sebagaimana kecerdikan Ibnu Umar yang bisa menebak jawaban pertanyaan Nabi dengan melihat kondisi beliau ketika memberikan pertanyaan. Ketika itu beliau sedang memakan beberapa butir kurma yang belum benar-benar matang, sebagaimana disebutkan oleh Abu Awanah dalam Shahihnya dari jalur Mujahid dari Ibnu Umar
2. Pelajaran berharga yang bisa dipetik dari hadits ini antara lain adalah: [1] Seyogyanya seorang alim/ahli ilmu menguji murid-muridnya dengan sesuatu yang samar kemudian disertai penjelasan jawabannya kepada mereka apabila mereka tidak bisa memahaminya. [2] Anjuran untuk meningkatkan pemahaman dalam menimba ilmu. [3] Dianjurkan memiliki sifat malu selama hal itu tidak menyebabkan hilangnya kemaslahatan. [4] Hadits di atas juga menunjukkan keberkahan yang ada pada pohon kurma dan apa saja yang tumbuh darinya. [5] Hadits ini menunjukkan bolehnya berjual-beli kurma yang ketika dipetik belum matang benar, sebab apa pun yang boleh dimakan maka boleh pula diperjual-belikan. [6] Hadits ini menunjukkan bolehnya mengumpulkan buah kurma yang belum matang untuk dimatangkan bukan di pohonnya (diimbu, bahasa Jawa). [7] Letak keserupaan pribadi muslim dengan kurma adalah segala kemanfaatan yang bisa diperoleh dari dirinya, sebagaimana yang disebutkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Perumpamaan seorang mukmin adalah seperti pohon kurma, apa saja yang datang kepadamu darinya niscaya bermanfaat untukmu.” (HR. al-Bazzar dari Ibnu Umar, dinyatakan sahih sanadnya oleh Ibnu Hajar). [8] Dianjurkan memberikan perumpamaan dan contoh perkara lain yang mirip dalam rangka memperdalam pemahaman dan mengokohkan gambaran makna suatu perkara di dalam pikiran. [9] Hadits ini mengisyaratkan bahwa penyerupaan tidak mengharuskan adanya kesamaan dari segala sisi. [10] Anjuran untuk menghormati orang yang lebih tua/senior. [11] Hendaknya seorang anak mendahulukan orang tuanya dalam berbicara. Dasar kedua hal ini adalah sikap yang dipilih oleh Ibnu Umar dengan tidak angkat bicara sementara beliau melihat Abu Bakar dan Umar (bapaknya) tidak menjawab pertanyaan Nabi tersebut. [12] Terkadang seorang alim yang sudah senior tidak mengerti sebagian perkara yang ternyata bisa dimengerti oleh orang lain yang lebih muda darinya/yunior (Silahkan periksa Fathul Bari [Juz 1 halaman 178-179] penerbit Darul Hadits cet. 1424 H).

Bab 5. Seorang imam/pemimpin melontarkan pertanyaan kepada murid-muridnya untuk menguji ilmu yang mereka miliki

حدثنا خالد بن مخلد حدثنا سليمان حدثنا عبد الله بن دينار عن ابن عمر : عن النبي صلى الله عليه و سلم قال ( إن من الشجر شجرة لا يسقط ورقها وإنها مثل المسلم حدثوني ما هي ) . قال فوقع الناس في شجر البوادي قال عبد الله فوقع في نفسي أنها النخلة ثم قالوا حدثنا ما هي يا رسول الله ؟ قال ( هي النخلة )

Khalid bin Makhlad menuturkan kepada kami. Dia berkata: Sulaiman menuturkan kepada kami. Dia berkata: Abdullah bin Dinar menuturkan kepada kami dari Ibnu Umar radhiyallahu’anhuma dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau bersabda, “Sesungguhnya di antara berbagai jenis pohon ada sejenis pohon yang tidak berguguran daunnya, dan itu merupakan perumpamaan seorang muslim. Tuturkanlah kepadaku apakah itu?”. Ibnu Umar berkata: Pikiran orang-orang pun melayang kepada pohon-pohon yang tumbuh di padang pasir. Abdullah -yaitu Ibnu Umar sendiri- mengatakan: Terbetik dalam pikiranku bahwa yang dimaksud dengan pohon itu adalah pohon kurma. Lalu mereka berkata, “Tuturkanlah kepada kami apakah pohon itu wahai Rasulullah.” Maka beliau menjawab, “Itu adalah pohon kurma.”

Keterangan:

1. Di dalam bab ini Imam Bukhari kembali mencantumkan hadits Ibnu Umar dengan redaksi yang mirip dengan riwayat sebelumnya. Hal ini bukanlah pengulangan yang tidak ada faedahnya. Sebab di dalam riwayat ini beliau menyebutkan jalur periwayatan/sanad yang lain dari sanad sebelumnya. Di dalam riwayat sebelumnya beliau meriwayatkan hadits ini dari Qutaibah dari Isma’il bin Ja’far dari Abdullah bin Dinar dari Ibnu Umar. Adapun dalam riwayat ini beliau meriwayatkannya dari Khalid bin Makhlad dari Sulaiman bin Bilal dari Abdullah bin Dinar dari Ibnu Umar. Hal ini menunjukkan keunggulan Imam Bukhari dalam hal penyusunan bab dan penyebutan dalil yang mendukungnya.
2. Bukti yang menunjukkan keunggulan Imam Bukhari -dan beliau bukan sekedar taklid kepada kebiasaan guru-gurunya dalam hal penyusunan bab- dalam menampilkan riwayat ini setelah keberadaan riwayat sebelumnya adalah riwayat hadits ini dari jalur Sulaiman bin Bilal di dalam kitab-kitab hadits tidak bisa ditemukan kecuali di dalam kitab Shahih Bukhari ini (Silahkan periksa Fathul Bari [Juz 1 halaman 180] penerbit Darul Hadits cet. 1424 H. Kami susun ulang penjelasan Ibnu Hajar dengan beberapa perubahan redaksional).

Yogyakarta, 5 Syawwal 1430 H/24 September 2009

Penyusun: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Artikel blog http://abu0mushlih.wordpress.com

Catatan Kaki:
[1] Hadits Mursal adalah ucapan seorang tabi’in: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda. Hadits mursal tergolong hadits lemah. Adapun mursal shahabi maksudnya adalah hadits Nabi yang diriwayatkan oleh seorang tabi’in dari seorang sahabat namun dia tidak mendengar langsung hadits tersebut atau tidak menyaksikannya. Hadits mursal jenis ini -mursal shahabi- adalah hadits yang dapat dijadikan sebagai hujjah/argumen (lihat Muntahal Amani bi Fawa’id Mushtholahil Hadits lil Muhaddits al-Albani, hal. 217 penerbit al-Faruq al-Haditsah cet. 1423 H). Hadits mursal digolongkan dalam hadits lemah disebabkan ketidakjelasan/jahalah pada diri periwayat antara tabi’in dengan Nabi. Bisa jadi dia adalah seorang sahabat atau tabi’in. Apabila dia adalah tabi’in bisa jadi dia adalah periwayat yang lemah, bisa jadi juga periwayat yang tsiqoh/bisa dipercaya. Karena adanya berbagai kemungkinan yang tidak menentu inilah maka hadits mursal dimasukkan dalam kategori hadits mardud/tertolak (lihat an-Nukat ‘ala Nuz-hatin Nazhar, hal. 109-110 penerbit Dar Ibnul Jauzi cet. 1413 H)


Sumber: http://abu0mushlih.wordpress.com

Selengkapnya...

Cara Berbakti Kepada Orang Tua

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas hafizhahullah

Bentuk-Bentuk Berbuat Baik Kepada Kedua Orang Tua Adalah :

Pertama.
Bergaul dengan keduanya dengan cara yang baik. Di dalam hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam disebutkan bahwa memberikan kegembiraan kepada seorang mu’min termasuk shadaqah, lebih utama lagi kalau memberikan kegembiraan kepada kedua orang tua kita.

Dalam nasihat perkawinan dikatakan agar suami senantiasa berbuat baik kepada istri, maka kepada kedua orang tua harus lebih dari kepada istri. Karena dia yang melahirkan, mengasuh, mendidik dan banyak jasa lainnya kepada kita.

Dalam suatu riwayat dikatakan bahwa ketika seseorang meminta izin untuk berjihad (dalam hal ini fardhu kifayah kecuali waktu diserang musuh maka fardhu ‘ain) dengan meninggalkan orang tuanya dalam keadaan menangis, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Kembali dan buatlah keduanya tertawa seperti engkau telah membuat keduanya menangis” [Hadits Riwayat Abu Dawud dan Nasa'i] Dalam riwayat lain dikatakan : “Berbaktilah kepada kedua orang tuamu” [Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim]

Kedua.
Yaitu berkata kepada keduanya dengan perkataan yang lemah lembut. Hendaknya dibedakan berbicara dengan kedua orang tua dan berbicara dengan anak, teman atau dengan yang lain. Berbicara dengan perkataan yang mulia kepada kedua orang tua, tidak boleh mengucapkan ‘ah’ apalagi mencemooh dan mencaci maki atau melaknat keduanya karena ini merupakan dosa besar dan bentuk kedurhakaan kepada orang tua. Jika hal ini sampai terjadi, wal iya ‘udzubillah.

Kita tidak boleh berkata kasar kepada orang tua kita, meskipun keduanya berbuat jahat kepada kita. Atau ada hak kita yang ditahan oleh orang tua atau orang tua memukul kita atau keduanya belum memenuhi apa yang kita minta (misalnya biaya sekolah) walaupun mereka memiliki, kita tetap tidak boleh durhaka kepada keduanya.

Ketiga.
Tawadlu (rendah diri). Tidak boleh kibir (sombong) apabila sudah meraih sukses atau mempunyai jabatan di dunia, karena sewaktu lahir kita berada dalam keadaan hina dan membutuhkan pertolongan. Kedua orang tualah yang menolong dengan memberi makan, minum, pakaian dan semuanya.

Seandainya kita diperintahkan untuk melakukan pekerjaan yang kita anggap ringan dan merendahkan kita yang mungkin tidak sesuai dengan kesuksesan atau jabatan kita dan bukan sesuatu yang haram, wajib bagi kita untuk tetap taat kepada keduanya. Lakukan dengan senang hati karena hal tersebut tidak akan menurunkan derajat kita, karena yang menyuruh adalah orang tua kita sendiri. Hal itu merupakan kesempatan bagi kita untuk berbuat baik selagi keduanya masih hidup.

Keempat.
Yaitu memberikan infak (shadaqah) kepada kedua orang tua. Semua harta kita adalah milik orang tua. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala surat Al-Baqarah ayat 215.

“Artinya : Mereka bertanya kepadamu tentang apa yang mereka infakkan. Jawablah, “Harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu bapakmu, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan. Dan apa saja kebajikan yang kamu perbuat sesungguhnya Allah maha mengetahui”

Jika seseorang sudah berkecukupan dalam hal harta hendaklah ia menafkahkannya yang pertama adalah kepada kedua orang tuanya. Kedua orang tua memiliki hak tersebut sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam surat Al-Baqarah di atas. Kemudian kaum kerabat, anak yatim dan orang-orang yang dalam perjalanan. Berbuat baik yang pertama adalah kepada ibu kemudian bapak dan yang lain, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut.

“Artinya : Hendaklah kamu berbuat baik kepada ibumu kemudian ibumu sekali lagi ibumu kemudian bapakmu kemudian orang yang terdekat dan yang terdekat” [Hadits Riwayat Bukhari dalam Adabul Mufrad No. 3, Abu Dawud No. 5139 dan Tirmidzi 1897, Hakim 3/642 dan 4/150 dari Mu'awiyah bin Haidah, Ahmad 5/3,5 dan berkata Tirmidzi, "Hadits Hasan"]

Sebagian orang yang telah menikah tidak menafkahkan hartanya lagi kepada orang tuanya karena takut kepada istrinya, hal ini tidak dibenarkan. Yang mengatur harta adalah suami sebagaimana disebutkan bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita. Harus dijelaskan kepada istri bahwa kewajiban yang utama bagi anak laki-laki adalah berbakti kepada ibunya (kedua orang tuanya) setelah Allah dan Rasul-Nya. Sedangkan kewajiban yang utama bagi wanita yang telah bersuami setelah kepada Allah dan Rasul-Nya adalah kepada suaminya. Ketaatan kepada suami akan membawanya ke surga. Namun demikian suami hendaknya tetap memberi kesempatan atau ijin agar istrinya dapat berinfaq dan berbuat baik lainnya kepada kedua orang tuanya.

Kelima.
Mendo’akan orang tua. Sebagaimana dalam ayat “Robbirhamhuma kamaa rabbayaani shagiiro” (Wahai Rabb-ku kasihanilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku diwaktu kecil). Seandainya orang tua belum mengikuti dakwah yang haq dan masih berbuat syirik serta bid’ah, kita harus tetap berlaku lemah lembut kepada keduanya. Dakwahkan kepada keduanya dengan perkataan yang lemah lembut sambil berdo’a di malam hari, ketika sedang shaum, di hari Jum’at dan di tempat-tempat dikabulkannya do’a agar ditunjuki dan dikembalikan ke jalan yang haq oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Apabila kedua orang tua telah meninggal maka :

Yang pertama : Kita lakukan adalah meminta ampun kepada Allah Ta’ala dengan taubat yang nasuh (benar) bila kita pernah berbuat durhaka kepada kedua orang tua sewaktu mereka masih hidup.

Yang kedua : Adalah mendo’akan kedua orang tua kita.

Dalam sebuah hadits dla’if (lemah) yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Ibnu Hibban, seseorang pernah bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Apakah ada suatu kebaikan yang harus aku perbuat kepada kedua orang tuaku sesudah wafat keduanya ?” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Ya, kamu shalat atas keduanya, kamu istighfar kepada keduanya, kamu memenuhi janji keduanya, kamu silaturahmi kepada orang yang pernah dia pernah silaturahmi kepadanya dan memuliakan teman-temannya” [Hadits ini dilemahkan oleh beberapa imam ahli hadits karena di dalam sanadnya ada seorang rawi yang lemah dan Syaikh Albani Rahimahullah melemahkan hadits ini dalam kitabnya Misykatul Mashabiih dan juga dalam Tahqiq Riyadush Shalihin (Bahajtun Nazhirin Syarah Riyadush Shalihin Juz I hal.413 hadits No. 343)]

Sedangkan menurut hadits-hadits yang shahih tentang amal-amal yang diperbuat untuk kedua orang tua yang sudah wafat, adalah :

[1] Mendo’akannya
[2] Menshalatkan ketika orang tua meninggal
[3] Selalu memintakan ampun untuk keduanya.
[4] Membayarkan hutang-hutangnya
[5] Melaksanakan wasiat yang sesuai dengan syari’at.
[6] Menyambung tali silaturrahmi kepada orang yang keduanya juga pernah menyambungnya

[Diringkas dari beberapa hadits yang shahih]

Sebagaimana hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari sahabat Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘anhuma.

“Artinya : Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya termasuk kebaikan seseorang adalah menyambung tali silaturrahmi kepada teman-teman bapaknya sesudah bapaknya meninggal” [Hadits Riwayat Muslim No. 12, 13, 2552]

Dalam riwayat yang lain, Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘anhuma menemui seorang badui di perjalanan menuju Mekah, mereka orang-orang yang sederhana. Kemudian Abdullah bin Umar mengucapkan salam kepada orang tersebut dan menaikkannya ke atas keledai, kemudian sorbannya diberikan kepada orang badui tersebut, kemudian Abdullah bin Umar berkata, “Semoga Allah membereskan urusanmu”. Kemudian Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘anhumua berkata, “Sesungguhnya bapaknya orang ini adalah sahabat karib dengan Umar sedangkan aku mendengar sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

“Artinya : Sesungguhnya termasuk kebaikan seseorang adalah menyambung tali silaturrahmi kepada teman-teman ayahnya” [Hadits Riwayat Muslim 2552 (13)]

Tidak dibenarkan mengqadha shalat atau puasa kecuali puasa nadzar [Tamamul Minnah Takhrij Fiqih Sunnah hal. 427-428, cet. III Darul Rayah 1409H, lihat Ahkamul Janaiz oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani hal 213-216, cet. Darul Ma'arif 1424H]

[Disalin dari Kitab Birrul Walidain, edisi Indonesia Berbakti Kepada Kedua Orang Tua oleh Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas, terbitan Darul Qolam - Jakarta]

Sumber: almanhaj.or.id

Selengkapnya...

Kitabul Ilmi dalam Shahih Bukhari [bagian 1]

Dilengkapi penjelasan al-Hafizh Ibnu Hajar al-’Asqolani

بسْم الله الرحمن الرحيم

كتَابُ العلْم

Bab 1. Keutamaan Ilmu

وقول الله تعالى { يرفع الله الذين آمنوا منكم والذين أوتوا العلم درجات والله بما تعملون خبير } / المجادلة 11 / .

Firman Allah ta’ala (yang artinya), “Allah akan mengangkat kedudukan orang-orang yang beriman di antara kalian dan yang diberi karunia ilmu sebanyak beberapa derajat. Allah Maha mengetahui apa saja yang kalian kerjakan.” (QS. al-Mujadilah: 11)


Keterangan[1] :

1. Allah akan mengangkat kedudukan seorang mukmin yang berilmu di atas seorang mukmin yang tidak berilmu
2. Diangkatnya derajat orang yang berilmu menunjukkan keutamaan ilmu
3. Pengangkatan derajat itu meliputi pengangkatan secara maknawi di dunia yaitu berupa ketinggian martabat dan nama baik -di masyarakat- dan juga pengangkatan secara hissi/terindera yaitu ketika di akherat berupa ketinggian kedudukan di surga
4. Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang memahami dan mengamalkan al-Qur’an dengan benar dan akan menghinakan orang-orang yang tidak memahami dan mengamalkan al-Qur’an sebagaimana mestinya. Hal itu sebagaimana dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits, “Sesungguhnya Allah akan mengangkat kedudukan sebagian orang karena Kitab ini dan juga akan merendahkan sebagian lainnya karenanya pula.” (HR. Muslim dari Umar bin al-Khattab radhiyallahu’anhu) (Silahkan periksa Fathul Bari [Juz 1 halaman 172] penerbit Darul Hadits cet. 1424 H)

وقوله عز و جل { وقل رب زدني علما } / طه 114 /

Firman Allah ‘azza wa jalla (yang artinya), “Wahai Rabbku, tambahkanlah kepadaku ilmu.” (QS. Thaha: 114)

Keterangan:

1. Ayat ini sangat jelas menunjukkan keutamaan ilmu. Sebab Allah tidak pernah memerintahkan Nabi untuk meminta tambahan sesuatu melainkan tambahan ilmu
2. Ilmu yang dimaksud dalam ayat ini adalah ilmu syar’i/ilmu agama, yaitu ilmu yang membuahkan pemahaman tentang apa saja yang wajib dilakukan oleh setiap orang dalam urusan agamanya, baik dalam hal ibadah maupun muamalah, ilmu tentang Allah dan sifat-sifat-Nya serta apa saja yang harus ditunaikan untuk-Nya, dan menyucikan Allah dari segenap cela. Poros semua ilmu agama terkumpul dalam tiga bidang ilmu, yaitu: tafsir, hadits, dan fiqih (Silahkan periksa Fathul Bari [Juz 1 halaman 172] penerbit Darul Hadits cet. 1424 H).

Bab 2. Orang yang ditanya mengenai suatu ilmu sementara dia sedang sibuk berbicara lantas dia pun menuntaskan pembicaraannya baru kemudian menjawab si penanya

حدثنا محمد بن سنان قال حدثنا فليح ( ح ) . وحدثني إبراهيم بن المنذر قال حدثنا محمد بن فليح قال حدثني أبي قال حدثني هلال بن علي عن عطاء بن يسار عن أبي هريرة قال : بينما النبي صلى الله عليه و سلم في جلس يحدث القوم جاءه أعرابي فقال متى الساعة ؟ . فمضى رسول الله صلى الله عليه و سلم يحدث فقال بعض القوم سمع ما قال فكره ما قال . وقال بعضهم بل لم يسمع . حتى إذ قضى حديثه قال ( أين – أراه – السائل عن الساعة ) . قال ها أنا يا رسول الله قال ( فإذا ضعيت الأمانة فانتظر الساعة ) . قال كيف إضاعتها ؟ قال ( إذا وسد الأمر إلى غير أهله فانتظر الساعة )

Muhammad bin Sinan menuturkan kepada kami. Dia berkata: Fulaih menuturkan kepada kami (ha’). Ibrahim bin al-Mundzir juga menuturkan kepadaku. Dia berkata: Ayahku menuturkan kepadaku. Dia berkata: Hilal bin Ali menuturkan kepadaku -sebuah riwayat- dari Atho’ bin Yasar dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu. Beliau berkata: Suatu saat ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang duduk dalam sebuah majelis/pertemuan untuk menyampaikan pembicaraan kepada sekelompok orang. Tiba-tiba ada seorang Arab Badui yang datang dan langsung bertanya, “Kapankah terjadinya hari kiamat?”. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap melanjutkan pembicaraannya. Sebagian orang yang hadir mengatakan, “Beliau mendengar ucapan itu namun beliau tidak senang terhadap isi ucapannya.” Sebagian yang lain berkata, “Bahkan beliau tidak mendengarnya.” Sampai pada akhirnya setelah beliau menuntaskan pembicaraannya, beliau pun berkata, “Dimana -menurutku (ucapan periwayat, pent)- orang yang bertanya tentang hari kiamat tadi?”. Lelaki itu pun menjawab, “Ini saya, wahai Rasulullah.” Maka beliau pun berkata, “Apabila amanah telah disia-siakan maka tunggulah datangnya hari kiamat.” Lalu orang itu kembali bertanya, “Bagaimana bentuk penyia-nyiaannya?”. Maka beliau menjawab, “Yaitu apabila suatu urusan telah diserahkan kepada bukan ahlinya maka tunggulah hari kiamat.” (Hadits no 59, disebutkan ulang pada hadits no 6496)

Keterangan:

1. Kaitan antara isi hadits ini dengan Kitabul Ilmi adalah bahwasanya penyandaran urusan kepada bukan ahlinya itu akan banyak terjadi ketika kebodohan telah merajalela dan ilmu telah diangkat, dan itu termasuk dalam ciri-ciri menjelang datangnya kiamat.
2. Dengan menyebutkan hadits ini dalam Kitabul Ilmi seolah-olah Imam Bukhari mengisyaratkan bahwa semestinya ilmu diambil dari orang-orang yang lebih senior (akabir), bukan dari orang-orang yang masih dangkal ilmunya (Silahkan periksa Fathul Bari [Juz 1 halaman 175] penerbit Darul Hadits cet. 1424 H). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Salah satu ciri dekatnya hari kiamat adalah ilmu dituntut dari orang-orang yang kecil/ashaghir.” (HR. Ibnu Mubarak dalam az-Zuhd [61], Abu Amr ad-Dani dalam al-Fitan [2/62], al-Lalika’i dalam Syarh Ushul as-Sunnah [1/230, Kawakib 576], at-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir, al-Hafizh Abdul Ghani al-Maqdisi dalam al-’Ilm [2/q 16], Ibnu Mandah dalam al-Ma’rifah [1/220/2] dari sahabat Abu Umayyah al-Jumahi. Hadits ini dinyatakan bagus/jayyid sanadnya oleh al-Albani dalam as-Shahihah [695]). Ibnul Mubarak mengatakan bahwa yang dimaksud al-Ashaghir/orang-orang kecil tersebut adalah ahli bid’ah (penyebar ajaran baru) (lihat Silsilah al-Ahadits as-Shahihah no. 695 [2/194] Software Maktabah as-Syamilah)

Catatan Kaki:

[1] Keterangan ini kami sarikan dari Fathul Bari bi Syarhi Shahihil Bukhari karya al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani, semoga Allah merahmatinya.


Sumber: http://abu0mushlih.wordpress.com


Selengkapnya...

Selasa, 29 September 2009

Tak Lebih Berharga dari Sehelai Sayap Nyamuk!!!

Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الدُّنْيَا سِجْنُ الْمُؤْمِنِ ، وَجَنَّةُ الكَافِرِ

“Dunia adalah penjara bagi orang mukmin dan surga bagi orang kafir.” (HR. Muslim)

Dari Amr bin ‘Auf radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,

فَوالله مَا الفَقْرَ أخْشَى عَلَيْكُمْ ، وَلكِنِّي أخْشَى أنْ تُبْسَط الدُّنْيَا عَلَيْكُمْ كَمَا بُسِطَتْ عَلَى مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ ، فَتَنَافَسُوهَا كَمَا تَنَافَسُوهَا ، فَتُهْلِكَكُمْ كَمَا أهْلَكَتْهُمْ

“Demi Allah. Bukanlah kemiskinan yang aku khawatirkan menimpa kalian. Akan tetapi aku khawatir ketika dibukakan kepada kalian dunia sebagaimana telah dibukakan bagi orang-orang sebelum kalian. Kemudian kalian pun berlomba-lomba dalam mendapatkannya sebagaimana orang-orang yang terdahulu itu. Sehingga hal itu membuat kalian menjadi binasa sebagaimana mereka dibinasakan olehnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dari Ka’ab bin ‘Iyadh radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إنَّ لِكُلِّ أُمَّةٍ فِتْنَةً ، وفِتْنَةُ أُمَّتِي : المَالُ

“Sesungguhnya setiap umat memiliki fitnah, sedangkan fitnah ummatku adalah harta.” (HR. Tirmidzi, dia berkata hadits hasan sahih)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,

انْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ أسْفَلَ مِنْكُمْ وَلاَ تَنْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ ؛ فَهُوَ أجْدَرُ أنْ لاَ تَزْدَرُوا نِعْمَةَ الله عَلَيْكُمْ

“Lihatlah kepada orang yang lebih rendah daripada kalian -dalam hal dunia- dan janganlah kalian melihat orang yang lebih di atasnya. Karena sesungguhnya hal itu akan membuat kalian tidak meremehkan nikmat yang Allah berikan kepada kalian.” (HR. Muslim)

Dari Shuhaib radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

عَجَباً لأمْرِ المُؤمنِ إنَّ أمْرَهُ كُلَّهُ لَهُ خيرٌ ولَيسَ ذلِكَ لأَحَدٍ إلاَّ للمُؤْمِن : إنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكانَ خَيراً لَهُ ، وإنْ أصَابَتْهُ ضرَاءُ صَبَرَ فَكانَ خَيْراً لَهُ

“Sangat mengagumkan urusan seorang mukmin. Sesungguhnya semua urusannya adalah baik baginya. Dan hal itu tidak didapatkan kecuali pada diri orang mukmin. Apabila dia mendapatkan kesenangan maka dia bersyukur. Dan apabila dia mendapatkan kesusahan maka dia akan bersabar.” (HR. Muslim)

Dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

اللَّهُمَّ لاَ عَيْشَ إِلاَّ عَيْشَ الآخِرَةِ

“Ya Allah tidak ada kehidupan yang sejati selain kehidupan akhirat.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dari Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إنَّ الدُّنْيَا حُلْوَةٌ خَضِرَةٌ وَإنَّ الله تَعَالَى مُسْتَخْلِفُكُمْ فِيهَا، فَيَنْظُرُ كَيْفَ تَعْمَلُونَ، فَاتَّقُوا الدُّنْيَا وَاتَّقُوا النِّسَاءَ

“Sesungguhnya dunia ini manis dan hijau. Dan sesungguhnya Allah ta’ala menyerahkannya kepada kalian untuk diurusi kemudian Allah ingin melihat bagaimana sikap kalian terhadapnya. Maka berhati-hatilah dari fitnah dunia dan wanita.” (HR. Muslim)

Dari Ibnu Umar radhiyallahu’anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

كُنْ في الدُّنْيَا كَأنَّكَ غَرِيبٌ ، أَو عَابِرُ سَبيلٍ

“Jadilah kamu di dunia seperti halnya orang asing atau orang yang sekedar numpang lewat/musafir.” (HR. Bukhari)

Dari Sahl bin Sa’id as-Sa’idi radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَوْ كَانَت الدُّنْيَا تَعْدِلُ عِنْدَ الله جَنَاحَ بَعُوضَةٍ ، مَا سَقَى كَافِراً مِنْهَا شَرْبَةَ مَاءٍ

“Seandainya dunia ini di sisi Allah senilai harganya dengan sayap nyamuk niscaya Allah tidak akan memberi minum barang seteguk sekalipun kepada orang kafir.” (HR. Tirmidzi, dan dia berkata hadits hasan sahih)

Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا لِي وَلِلدُّنْيَا ؟ مَا أَنَا في الدُّنْيَا إِلاَّ كَرَاكِبٍ اسْتَظَلَّ تَحْتَ شَجَرَةٍ ثُمَّ رَاحَ وَتَرَكَهَا

“Ada apa antara aku dengan dunia ini? Tidaklah aku berada di dunia ini kecuali bagaikan seorang pengendara/penempuh perjalanan yang berteduh di bawah sebuah pohon. Kemudian dia beristirahat sejenak di sana lalu meninggalkannya.” (HR. Tirmidzi, dia berkata hadits hasan sahih)


Sumber: http://abu0mushlih.wordpress.com


Selengkapnya...

Senin, 28 September 2009

Jangan Tunda Amal Kebaikan!

Allah ta’ala menggambarkan tentang keistimewaan para Nabi dengan firman-Nya (yang artinya), ”Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang bersegera dalam mengerjakan berbagai macam kebaikan, dan mereka senantiasa berdoa kepada Kami dengan disertai rasa harap dan cemas. Dan mereka pun senantiasa khusyu’ dalam beribadah kepada Kami.” (QS. Al Anbiyaa’ [21] : 90).


Bersegera dalam kebaikan
al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan makna ayat tersebut, bahwa para nabi dan orang-orang salih itu besegera dalam melakukan amal pendekatan diri kepada Allah dan ketaatan kepada-Nya (Tafsir al-Qur’an al-’Azhim, 5/273. cet al-Maktabah at-Taufiqiyah).

Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah memaparkan, bahwa maknanya ialah para Nabi itu bersegera dalam mengerjakan kebaikan-kebaikan, dan mereka juga melakukan kebaikan pada waktu-waktunya yang utama. Mereka pun berusaha untuk menyempurnakan amalan mereka itu dengan sebaik-baiknya. Mereka tidak mau meninggalkan sebuah keutamaan pun pada saat mereka sanggup untuk meraihnya. Mereka tidak mau menyia-nyiakannya, sehingga kalau kesempatan itu ada maka mereka pun bergegas untuk memanfaatkan kesempatan itu dengan sebaik-baiknya… (Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 530)

Jangan sia-siakan kesempatan!
Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata, ”Salah satu bukti kebijaksanaan takdir dan hikmah ilahiyah, yaitu barangsiapa yang meninggalkan apa yang bermanfaat baginya -padahal memungkinkan baginya untuk memetik manfaat itu lantas dia tidak mau memetiknya- maka dia akan menerima cobaan berupa disibukkan dengan hal-hal yang mendatangkan madharat terhadap dirinya. Barangsiapa meninggalkan ibadah kepada ar-Rahman, niscaya dia akan disibukkan dengan ibadah kepada berhala-berhala. Barangsiapa meninggalkan cinta, harap dan takut kepada Allah maka niscaya dia akan disibukkan dalam kecintaan kepada selain Allah, berharap dan takut karenanya. Barangsiapa tidak menginfakkan hartanya dalam ketaatan kepada Allah niscaya dia akan menginfakkannya dalam mentaati syaithan. Barangsiapa meninggalkan merendahkan diri dan tunduk kepada Rabb-nya niscaya dia akan dicoba dengan merendahkan diri dan tunduk kepada hamba. Barangsiapa meninggalkan kebenaran niscaya dia akan dicoba dengan kebatilan.” (Tafsir surat al-Baqarah ayat 101-103, Tais al-Karim ar-Rahman hal. 60-61).

Abdullah bin Umar radhiyallahu’anhuma berkata : Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memegang kedua pundakku dan mengatakan, ”Jadilah engkau di dunia seperti orang asing atau orang yang singgah di perjalanan.” Ibnu ‘Umar berkata, “Kalau engkau berada di waktu pagi jangan sekedar menunggu datangnya waktu sore. Kalau engkau berada di waktu sore jangan sekedar menunggu datangnya waktu pagi. Manfaatkanlah waktu sehatmu sebelum datang waktu sakitmu. Dan gunakanlah masa hidupmu sebelum datang kematianmu.” (HR. Bukhari. 6053, Kitab ar-Raqaa’iq)

Asas kebaikan dan keburukan
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, ”Asas seluruh kebaikan adalah pengetahuanmu bahwa apa saja yang Allah kehendaki pasti terjadi, dan apa saja yang tidak Dia kehendaki pasti tidak akan terjadi. Ketika itulah akan tampak, bahwa semua kebaikan adalah berasal dari nikmat-Nya, maka sudah semestinya kamu pun bersyukur kepada-Nya atas nikmat itu, dan kamu memohon dengan sangat kepada-Nya agar nikmat itu tidak terputus darimu. Dan akan tampak pula, bahwa seluruh keburukan adalah akibat (manusia) dibiarkan bersandar kepada dirinya sendiri dan bentuk hukuman dari-Nya, maka sudah semestinya kamu bersungguh-sungguh berdoa kepada-Nya agar menghalangimu dari keburukan-keburukan itu. Mintalah kepada-Nya supaya kamu tidak dibiarkan bersandar pada dirimu sendiri (tanpa ada bantuan dari-Nya) dalam mengerjakan kebaikan-kebaikan dan meninggalkan keburukan-keburukan.”

Beliau melanjutkan, ”Seluruh ahli ma’rifat pun telah sepakat bahwa segala kebaikan bersumber dari taufik yang Allah karuniakan kepada hamba. Dan semua bentuk keburukan bersumber dari penelantaran Allah terhadap hamba-Nya. Mereka pun telah sepakat, bahwa hakekat taufik adalah ketika Allah tidak menyerahkan urusanmu kepada dirimu sendiri. Sedangkan hakekat al-khudzlan (ditelantarkan) yaitu ketika Allah membiarkan kamu bersandar kepada kemampuanmu semata (tanpa bantuan-Nya) dalam mengatasi masalahmu. Kalau ternyata segala kebaikan bersumber dari taufik, sedangkan ia berada di tangan Allah bukan di tangan hamba, maka kunci untuk mendapatkannya adalah do’a, perasaan sangat membutuhkan, ketergantungan hati yang penuh kepada-Nya, serta harapan dan rasa takut kepada-Nya…” (al-Fawa’id, hal. 94).



Sumber: http://abu0mushlih.wordpress.com


Selengkapnya...

Air Mata Taubat

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak akan masuk neraka seseorang yang menangis karena merasa takut kepada Allah sampai susu [yang telah diperah] bisa masuk kembali ke tempat keluarnya.” (HR. Tirmidzi [1633]).


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Ada tujuh golongan yang akan dinaungi oleh Allah pada hari ketika tidak ada naungan kecuali naungan-Nya; [1] seorang pemimpin yang adil, [2] seorang pemuda yang tumbuh dalam [ketaatan] beribadah kepada Allah ta’ala, [3] seorang lelaki yang hatinya bergantung di masjid, [4] dua orang yang saling mencintai karena Allah; mereka berkumpul dan berpisah karena-Nya, [5] seorang lelaki yang diajak oleh seorang perempuan kerkedudukan dan cantik [untuk berzina] akan tetapi dia mengatakan, ‘Sesungguhnya aku takut kepada Allah’, [6] seorang yang bersedekah secara sembunyi-sumbunyi sampai-sampai tangan kirinya tidak tahu apa yang diinfakkan oleh tangan kanannya, dan [7] seorang yang mengingat Allah di kala sendirian sehingga kedua matanya mengalirkan air mata (menangis).” (HR. Bukhari [629] dan Muslim [1031]).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Ada dua buah mata yang tidak akan tersentuh api neraka; mata yang menangis karena merasa takut kepada Allah, dan mata yang berjaga-jaga di malam hari karena menjaga pertahanan kaum muslimin dalam [jihad] di jalan Allah.” (HR. Tirmidzi [1639], disahihkan Syaikh al-Albani dalam Sahih Sunan at-Tirmidzi [1338]).

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada yang lebih dicintai oleh Allah selain dua jenis tetesan air dan dua bekas [pada tubuh]; yaitu tetesan air mata karena perasaan takut kepada Allah, dan tetesan darah yang mengalir karena berjuang [berjihad] di jalan Allah. Adapun dua bekas itu adalah; bekas/luka pada tubuh yang terjadi akibat bertempur di jalan Allah dan bekas pada tubuh yang terjadi karena mengerjakan salah satu kewajiban yang diberikan oleh Allah.” (HR. Tirmidzi [1669] disahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Sahih Sunan at-Tirmidzi [1363])

Abdullah bin Umar radhiyallahu’anhuma mengatakan, “Sungguh, menangis karena takut kepada Allah itu jauh lebih aku sukai daripada berinfak uang seribu dinar!”.

Ka’ab bin al-Ahbar rahimahullah mengatakan, “Sesungguhnya mengalirnya air mataku sehingga membasahi kedua pipiku karena takut kepada Allah itu lebih aku sukai daripada aku berinfak emas yang besarnya seukuran tubuhku.”

Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu mengatakan; suatu ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadaku, “Bacakanlah al-Qur’an kepadaku.” Maka kukatakan kepada beliau, “Wahai Rasulullah, apakah saya bacakan al-Qur’an kepada anda sementara al-Qur’an itu diturunkan kepada anda?”. Maka beliau menjawab, “Sesungguhnya aku senang mendengarnya dibaca oleh selain diriku.” Maka akupun mulai membacakan kepadanya surat an-Nisaa’. Sampai akhirnya ketika aku telah sampai ayat ini (yang artinya), “Lalu bagaimanakah ketika Kami datangkan saksi bagi setiap umat dan Kami jadikan engkau sebagai saksi atas mereka.” (QS. an-Nisaa’ : 40). Maka beliau berkata, “Cukup, sampai di sini saja.” Lalu aku pun menoleh kepada beliau dan ternyata kedua mata beliau mengalirkan air mata.” (HR. Bukhari [4763] dan Muslim [800]).

Dari Ubaidullah bin Umair rahimahullah, suatu saat dia pernah bertanya kepada Aisyah radhiyallahu’anha, “Kabarkanlah kepada kami tentang sesuatu yang pernah engkau lihat yang paling membuatmu kagum pada diri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?”. Maka ‘Asiyah pun terdiam lalu mengatakan, “Pada suatu malam, beliau (nabi) berkata, ‘Wahai Aisyah, biarkanlah malam ini aku sendirian untuk beribadah kepada Rabbku.’ Maka aku katakan, ‘Demi Allah, sesungguhnya saya sangat senang dekat dengan anda. Namun saya juga merasa senang apa yang membuat anda senang.’ Aisyah menceritakan, ‘Kemudian beliau bangkit lalu bersuci dan kemudian mengerjakan shalat.’ Aisyah berkata, ‘Beliau terus menerus menangis sampai-sampai basahlah bagian depan pakaian beliau!’. Aisyah mengatakan, ‘Ketika beliau duduk [dalam shalat] maka beliau masih terus menangis sampai-sampai jenggotnya pun basah oleh air mata!’. Aisyah melanjutkan, ‘Kemudian beliau terus menangis sampai-sampai tanah [tempat beliau shalat] pun menjadi ikut basah [karena tetesan air mata]!”. Lalu datanglah Bilal untuk mengumandangkan adzan shalat (Subuh). Ketika dia melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menangis, Bilal pun berkata, ‘Wahai Rasulullah, anda menangis? Padahal Allah telah mengampuni dosa anda yang telah berlalu maupun yang akan datang?!’. Maka Nabi pun menjawab, ‘Apakah aku tidak ingin menjadi hamba yang pandai bersyukur?! Sesungguhnya tadi malam telah turun sebuah ayat kepadaku, sungguh celaka orang yang tidak membacanya dan tidak merenungi kandungannya! Yaitu ayat (yang artinya), “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi….dst sampai selesai” (QS. Ali Imran : 190).” (HR. Ibnu Hiban [2/386] dan selainnya. Disahihkan Syaikh al-Albani dalam Sahih at-Targhib [1468] dan ash-Shahihah [68]).

Mu’adz radhiyallahu’anhu pun suatu ketika pernah menangis tersedu-sedu. Kemudian ditanyakan kepadanya, “Apa yang membuatmu menangis?”. Maka beliau menjawab, “Karena Allah ‘azza wa jalla hanya mencabut dua jenis nyawa. Yang satu akan masuk surga dan satunya akan masuk ke dalam neraka. Sedangkan aku tidak tahu akan termasuk golongan manakah aku di antara kedua golongan itu?”.

al-Hasan al-Bashri rahimahullah pun pernah menangis, dan ditanyakan kepadanya, “Apa yang membuatmu menangis?”. Maka beliau menjawab, “Aku khawatir besok Allah akan melemparkan diriku ke dalam neraka dan tidak memperdulikanku lagi.”

Abu Musa al-Asya’ri radhiyallahu’anhu suatu ketika memberikan khutbah di Bashrah, dan di dalam khutbahnya dia bercerita tentang neraka. Maka beliau pun menangis sampai-sampai air matanya membasahi mimbar! Dan pada hari itu orang-orang (yang mendengarkan) pun menangis dengan tangisan yang amat dalam.

Abu Hurairah radhiyallahu’anhu menangis pada saat sakitnya [menjelang ajal]. Maka ditanyakan kepadanya, “Apa yang membuatmu menangis?!”. Maka beliau menjawab, “Aku bukan menangis gara-gara dunia kalian [yang akan kutinggalkan] ini. Namun, aku menangis karena jauhnya perjalanan yang akan aku lalui sedangkan bekalku teramat sedikit, sementara bisa jadi nanti sore aku harus mendaki jalan ke surga atau neraka, dan aku tidak tahu akan ke manakah digiring diriku nanti?”.

Suatu malam al-Hasan al-Bashri rahimahullah terbangun dari tidurnya lalu menangis sampai-sampai tangisannya membuat segenap penghuni rumah kaget dan terbangun. Maka mereka pun bertanya mengenai keadaan dirinya, dia menjawab, “Aku teringat akan sebuah dosaku, maka aku pun menangis.”

Saya [penyusun artikel] berkata: Kalau al-Hasan al-Bashri saja menangis sedemikian keras karena satu dosa yang diperbuatnya, lalu bagaimanakah lagi dengan orang yang mengingat bahwa jumlah dosanya tidak dapat lagi dihitung dengan jari tangan dan jari kaki? Laa haula wa laa quwwata illa billah! Alangkah jauhnya akhlak kita dibandingkan dengan akhlak para salafush shalih? Beginikah seorang salafi, wahai saudaraku? Tidakkah dosamu membuatmu menangis dan bertaubat kepada Rabbmu? “Apakah mereka tidak mau bertaubat kepada Allah dan meminta ampunan kepada-Nya? Sementara Allah Maha pengampun lagi Maha penyayang.” (lihat QS. al-Maa’idah : 74). Aina nahnu min haa’ulaa’i? Aina nahnu min akhlagis salaf? Ya akhi, jadilah salafi sejati!

Disarikan dari al-Buka’ min Khas-yatillah, asbabuhu wa mawani’uhu wa thuruq tahshilihi, hal. 4-13 karya Abu Thariq Ihsan bin Muhammad bin ‘Ayish al-’Utaibi, tanpa penerbit, berupa file word.

Penyusun: Ari Wahyudi


Sumber: http://abu0mushlih.wordpress.com


Selengkapnya...

Perjalanan Menyambut Kematian

Kematian, salah satu rahasia ilmu ghaib yang hanya diketahui oleh Allah ta’ala. Allah telah menetapkan setiap jiwa pasti akan merasakannya. Kematian tidak pandang bulu. Apabila sudah tiba saatnya, malaikat pencabut nyawa akan segera menunaikan tugasnya. Dia tidak mau menerima pengunduran jadwal, barang sedetik sekalipun. Karena bukanlah sifat malaikat seperti manusia, yang zalim dan jahil.


Manusia tenggelam dalam seribu satu kesenangan dunia, sementara ia lalai mempersiapkan diri menyambut akhiratnya. Berbeda dengan para malaikat yang senantiasa patuh dan mengerjakan perintah Tuhannya. Duhai, tidakkah manusia sadar. Seandainya dia tahu apa isi neraka saat ini juga pasti dia akan menangis, menangis dan menangis. SubhanAllah, adakah orang yang tidak merasa takut dari neraka. Sebuah tempat penuh siksa. Sebuah negeri kengerian dan jeritan manusia-manusia durhaka. Neraka ada di hadapan kita, dengan apakah kita akan membentengi diri darinya ? Apakah dengan menumpuk kesalahan dan dosa, hari demi hari, malam demi malam, sehingga membuat hati semakin menjadi hitam legam ? Apakah kita tidak ingat ketika itu kita berbuat dosa, lalu sesudahnya kita melakukannya, kemudian sesudahnya kita melakukannya ? Sampai kapan engkau jera ?

Sebab-sebab su’ul khatimah

Saudaraku seiman mudah -mudahan Allah memberikan taufik kepada Anda- ketahuilah bahwa su’ul khatimah tidak akan terjadi pada diri orang yang shalih secara lahir dan batin di hadapan Allah. Terhadap orang-orang yang jujur dalam ucapan dan perbuatannya, tidak pernah terdengar cerita bahwa mereka su’ul khotimah. Su’ul khotimah hanya terjadi pada orang yang rusak batinnya, rusak keyakinannya, serta rusak amalan lahiriahnya; yakni terhadap orang-orang yang nekat melakukan dosa-dosa besar dan berani melakukan perbuatan-perbuatan maksiat. Kemungkinan semua dosa itu demikian mendominasi dirinya sehingga ia meninggal saat melakukannya, sebelum sempat bertaubat dengan sungguh-sungguh.

Perlu diketahui bahwa su’ul khotimah memiliki berbagai sebab yang banyak jumlahnya. Di antaranya yang terpokok adalah sebagai berikut :

* Berbuat syirik kepada Allah ‘azza wa jalla. Pada hakikatnya syirik adalah ketergantungan hati kepada selain Allah dalam bentuk rasa cinta, rasa takut, pengharapan, do’a, tawakal, inabah (taubat) dan lain-lain.
* Berbuat bid’ah dalam melaksanakan agama. Bid’ah adalah menciptakan hal baru yang tidak ada tuntunannya dari Allah dan Rasul-Nya. Penganut bid’ah tidak akan mendapat taufik untuk memperoleh husnul khatimah, terutama penganut bid’ah yang sudah mendapatkan peringatan dan nasehat atas kebid’ahannya. Semoga Allah memelihara diri kita dari kehinaan itu.
* Terus menerus berbuat maksiat dengan menganggap remeh dan sepele perbuatan-perbuatan maksiat tersebut, terutama dosa-dosa besar. Pelakunya akan mendapatkan kehinaan di saat mati, disamping setan pun semakin memperhina dirinya. Dua kehinaan akan ia dapatkan sekaligus dan ditambah lemahnya iman, akhirnya ia mengalami su’ul khotimah.
* Melecehkan agama dan ahli agama dari kalangan ulama, da’i, dan orang-orang shalih serta ringan tangan dan lidah dalam mencaci dan menyakiti mereka.
* Lalai terhadap Allah dan selalu merasa aman dari siksa Allah. Allah berfirman yang artinya, “Apakah mereka merasa aman dari azab Allah (yang tidak terduga-duga). Tiadalah yang merasa aman dari azab Allah kecuali orang-orang yang merugi” (QS. Al A’raaf [7] : 99)
* Berbuat zalim. Kezaliman memang ladang kenikmatan namun berakibat menakutkan. Orang-orang yang zalim adalah orang-orang yang paling layak meninggal dalam keadaan su’ul khotimah. Allah berfirman yang artinya, “Sesungguhnya Allah tidak akan memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim” (QS. Al An’aam [6] : 44)
* Berteman dengan orang-orang jahat. Allah berfirman yang artinya, “(Ingatlah) hari ketika orang yang zalim itu menggigit dua tangannya, seraya berkata, “Aduhai kiranya (dulu) aku mengambil jalan yang lurus bersama Rasul. Kecelakaan besarlah bagiku, kiranya aku dulu tidak menjadikan si fulan sebagai teman akrabku” (QS. Al Furqaan [25] : 27-28)
* Bersikap ujub. Sikap ujub pada hakikatnya adalah sikap seseorang yang merasa bangga dengan amal perbuatannya sendiri serta menganggap rendah perbuatan orang lain, bahkan bersikap sombong di hadapan mereka. Ini adalah penyakit yang dikhawatirkan menimpa orang-orang shalih sehingga menggugurkan amal shalih mereka dan menjerumuskan mereka ke dalam su’ul khotimah.

Demikianlah beberapa hal yang bisa menyebabkan su’ul khotimah. Kesemuanya adalah biang dari segala keburukan, bahkan akar dari semua kejahatan. Setiap orang yang berakal hendaknya mewaspadai dan menghindarinya, demi menghindari su’ul khotimah.

Tanda-tanda husnul khotimah

Tanda-tanda husnul khotimah cukup banyak. Di sini kami menyebutkan sebagian di antaranya saja :

* Mengucapkan kalimat tauhid laa ilaaha illallaah saat meninggal. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang akhir ucapan dari hidupnya adalah laa ilaaha illallaah, pasti masuk surga” (HR. Abu Dawud dll, dihasankan Al Albani dalam Irwa’ul Ghalil)
* Meninggal pada malam Jum’at atau pada hari Jum’at. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Setiap muslim yang meninggal pada hari atau malam Jum’at pasti akan Allah lindungi dari siksa kubur” (HR.Ahmad)
* Meninggal dengan dahi berkeringat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Orang mukmin itu meninggal dengan berkeringat di dahinya” (HR. Ahmad, Tirmidzi dll. dishahihkan Al Albani)
* Meninggal karena wabah penyakit menular dengan penuh kesabaran dan mengharapkan pahala dari Allah, seperti penyakit kolera, TBC dan lain sebagainya
* Wanita yang meninggal saat nifas karena melahirkan anak. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seorang wanita yang meninggal karena melahirkan anaknya berarti mati syahid. Sang anak akan menarik-nariknya dengan riang gembira menuju surga” (HR. Ahmad)
* Munculnya bau harum semerbak, yakni yang keluar dari tubuh jenazah setelah meninggal dan dapat tercium oleh orang-orang di sekitarnya. Seringkali itu didapatkan pada jasad orang-orang yang mati syahid, terutama syahid fi sabilillah.
* Mendapatkan pujian yang baik dari masyarakat sekitar setelah meninggalnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melewati jenazah. Beliau mendengar orang-orang memujinya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda, “Pasti (masuk) surga” Beliau kemudian bersabda, “kalian adalah para saksi Allah di muka bumi ini” (HR. At Tirmidzi)
* Melihat sesuatu yang menggembirakan saat ruh diangkat. Misalnya, melihat burung-burung putih yang indah atau taman-taman indah dan pemandangan yang menakjubkan, namun tidak seorangpun di sekitarnya yang melihatnya. Kejadian itu dialami sebagian orang-orang shalih. Mereka menggambarkan sendiri apa yang mereka lihat pada saat sakaratul maut tersebut dalam keadaan sangat berbahagia, sedangkan orang-orang di sekitar mereka tampak terkejut dan tercengang saja.

Bagaimana kita menyambut kematian?

Saudara tercinta, sambutlah sang kematian dengan hal-hal berikut :

* Dengan iman kepada Allah, para malaikat, kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya, Hari Akhir, dan takdir baik maupun buruk.
* Dengan menjaga shalat lima waktu tepat pada waktunya di masjid secara berjama’ah bersama kaum muslim dengan menjaga kekhusyu’an dan merenungi maknanya. Namun, shalat wanita di rumahnya lebih baik daripada di masjid.
* Dengan mengeluarkan zakat yang diwajibkan sesuai dengan takaran dan cara-cara yang disyari’atkan.
* Dengan melakukan puasa Ramadhan dengan penuh keimanan dan mengharap pahala.
* Dengan melakukan haji mabrur, karena pahala haji mabrur pasti surga. Demikian juga umrah di bulan Ramadhan, karena pahalanya sama dengan haji bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
* Dengan melaksanakan ibadah-ibadah sunnah, yakni setelah melaksanakan yang wajib. Baik itu shalat, zakat, puasa maupun haji. Allah menandaskan dalam sebuah hadits qudsi, “Seorang hamba akan terus mendekatkan diri kepada-Ku melalui ibadah-ibadah sunnah, hingga Aku mencintai-Nya”
* Dengan segera bertobat secara ikhlas dari segala perbuatan maksiat dan kemungkaran, kemudian menanamkan tekad untuk mengisi waktu dengan banyak memohon ampunan, berdzikir, dan melakukan ketaatan.
* Dengan ikhlas kepada Allah dan meninggalkan riya dalam segala ibadah, sebagaimana firman Allah yang artinya, “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam menjalankan agama yang lurus” (QS. Al Bayyinah [98] : 5)
* Dengan mencintai Allah dan Rasul-Nya.
* Hal itu hanya sempurna dengan mengikuti ajaran Nabi, sebagaimana yang Allah firmankan yang artinya, “Katakanlah, ‘Jika kamu benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu’. Allah Maha pengampun lagi Maha penyayang” (QS. Ali Imran [3] : 31)
* Dengan mencintai seseorang karena Allah dan membenci seseorang karena Allah, berloyalitas karena Allah dan bermusuhan karena Allah. Konsekuensinya adalah mencintai kaum mukmin meskipun saling berjauhan dan membenci orang kafir meskipun dekat dengan mereka.
* Dengan rasa takut kepada Allah, dengan mengamalkan ajaran kitab-Nya, dengan ridha terhadap rezeki-Nya meski sedikit, namun bersiap diri menghadapi Hari Kemudian. Itulah hakikat dari takwa.
* Dengan bersabar menghadapi cobaan, bersyukur kala mendapatkan kenikmatan, selalu mengingat Allah dalam suasana ramai atau dalam kesendirian, serta selalu mengharapkan keutamaan dan karunia dari Allah. Dan lain-lain

(dicuplik dari Misteri Menjelang Ajal, Kisah-Kisah Su’ul Khatimah dan Husnul Khatimah, penerjemah Al Ustadz Abu ‘Umar Basyir hafizhahullah). Semoga sholawat dan salam terlimpahkan kepada Nabi kita Muhammad, kepada sanak keluarga beliau dan para sahabat beliau

Penyusun: Ari Wahyudi


Sumber: http://abu0mushlih.wordpress.com


Selengkapnya...

Apakah Salafi Termasuk Aliran Sesat?

Syaikh Dr. Muhammad bin Khalifah at-Tamimi hafizhahullah -beliau adalah guru besar Aqidah di Universitas Islam Madinah- menerangkan di dalam kitabnya ‘Mu’taqad Ahlis Sunnah wal Jama’ah fi Tauhid Asma’ wa Shifat’ [halaman 53-54] bahwa para ulama memiliki pandangan yang beragam tentang makna istilah salafush shalih. Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan salafush shalih adalah para sahabat radhiyallahu’anhum saja. Sebagian berpendapat bahwa yang dimaksud salafush shalih adalah sahabat dan tabi’in. Dan ada pula yang mengatakan bahwa salafush shalih meliupti sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in.

Beliau juga menyatakan [halaman 54] bahwa pendapat yang benar lagi populer ialah pendapat jumhur ulama Ahlis Sunnah wal Jama’ah yaitu yang menyatakan bahwa salafush shalih itu mencakup tiga generasi yang diutamakan dan telah dipersaksikan kebaikannya oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya, “Sebaik-baik manusia adalah di jamanku, kemudian sesudah mereka, kemudian sesudahnya lagi.” (HR. Bukhari dan Muslim). Sehingga istilah salafush shalih itu mencakup sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in.

Syaikh at-Tamimi mengatakan, “Dan setiap orang yang meniti jalan mereka dan berjalan di atas metode/manhaj mereka maka dia disebut salafi, sebagai penisbatan kepada mereka.” (Mu’taqad, hal. 54).

Beliau juga memaparkan [halaman 54] bahwa salafiyah adalah manhaj yang ditempuh oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beserta generasi yang diutamakan sesudah beliau. Nabi telah memberitakan bahwa manhaj salaf ini akan tetap ada hingga datangnya hari kiamat. Sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Akan senantiasa ada segolongan manusia di antara umatku yang selalu menang di atas kebenaran. Tidak akan membahayakan mereka orang-orang yang menelantarkan mereka sampai datang ketetapan Allah sementara mereka tetap dalam keadaan menang.” (HR. Muslim)

Kemudian, Syaikh at-Tamimi juga menegaskan [halaman 55] bahwa perkara yang dibenarkan apabila seorang menyandarkan diri kepada manhaj salaf ini selama dia konsisten menetapi syarat-syarat dan kaidah-kaidahnya. Maka siapa pun yang menjaga keselamatan aqidah dan amalnya sehingga sesuai dengan pemahaman tiga generasi yang utama tersebut, maka dia adalah orang yang bermanhaj salaf.

Di tempat yang lain [halaman 63] beliau mengatakan, “Terkadang para ulama menggunakan istilah Ahlus Sunnah wal Jama’ah sebagai pengganti istilah salaf.”

Dari pemaparan ringkas di atas maka kita dapat mengambil kesimpulan bahwa istilah salaf atau salafi sebenarnya adalah istilah yang sudah sangat terkenal dalam pembicaraan para ulama. Mereka itu tidak lain adalah para sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Maka sungguh sebuah penipuan yang amat jelas apabila ada orang yang mengatakan bahwa istilah salafi adalah istilah yang diada-adakan, tidak ada sumbernya dalam al-Kitab maupun as-Sunnah, apalagi sampai mengatakan bahwa istilah itu tidak perlu dihiraukan.

Dengarkanlah ucapan seorang tokoh pergerakan yang patut untuk kita cermati, “Salafiyah bukanlah istilah teknik untuk suatu jamaah, melainkan bentuk pemahaman terhadap Islam dalam menghadapi berbagai faham lain dari berbagai kelompok yang menyimpang. Pemahaman ini ada sejak awal sejarah Islam. Pada dasarnya seluruh du’at harus menjalani manhaj salaf ridhwanullahi ‘alaihim, bergerak dengannya baik secara pemahaman, amalan, maupun aqidah. Salafiyah bukan sebuah jama’ah dari jama’ah-jama’ah, dan bukan merupakan satu hizb dari berbagai hizb yang ada.” (Ikhwanul Muslimin, Deskripsi, Jawaban, Tuduhan, dan Harapan, penerjemah Hawari Aulia, di bawah judul ‘Tuduhan dan Jawabannya’). Alangkah benar apa yang diucapkannya, maka marilah kita ikuti para ulama salaf, tidak hanya dalam hal aqidah namun juga dalam hal dakwah dan siyasah, sadarlah wahai saudaraku…

Termasuk kekeliruan pula apabila ada orang yang mengatakan bahwa salaf sekarang sudah tidak ada karena mereka sudah meninggal dengan maksud menjauhkan umat dari manhaj salaf. Memang, salafush shalih -dalam artian tiga generasi terbaik- sudah berlalu, namun sebagaimana sudah dijelaskan di muka oleh Syaikh at-Tamimi bahwa manhaj mereka masih tetap hidup.

Aduhai, alangkah banyak gaya-gaya hizbiyah yang ditampilkan oleh manusia pada masa sekarang ini demi menjauhkan umat dari para ulama dan pemahaman mereka! Maka berhati-hatilah wahai saudaraku dari tipu daya mereka… Janganlah tertipu oleh silat lidah mereka yang lincah, tutur kata yang manis namun di dalamnya ternyata berbisa… Ikutilah para ulama Sunnah dan para penimba ilmu yang mengikuti jalan mereka! Semoga Allah menjadikan kita salafi yang sejati. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam. Walhamdu lillahi Rabbil ‘alamin.



Sumber: http://abu0mushlih.wordpress.com


Selengkapnya...

Dengan 5 Hal Ini, Kau Akan Berbahagia Bersamaku, Istriku…*

*diketik ulang oleh Humaira Ummu Abdillah dari majalah al-mawwaddah, Edisi I Tahun ke-3,Sya’ban 1430H/2009,Rubrik: Taman Pasutri, oleh: Ustadz Abu Amar al-Ghoyami hal:29-30*

Suami Anda mungkin tidak pernah berkata-kata secara terbuka dan apa adanya kepada Anda. Setiap Anda bertanya kepadanya ia selalu menjawab dengan mendahulukan perasaannya. Akibatnya, Anda tidak bisa puas dengan jawabannya yang memang sangat sedikit.Bila ini terjadi pada suami Anda, maka Anda harus tahu bahwa memang tidak semua laki-laki bisa begitu saja terbuka, namun benar-benar ada tipe suami yang memang pendiam dan pemalu.

Berikut tips yang bisa digunakan oleh istri untuk mengambil hati suaminya yang pendiam dan pemalu yang menurut hasil penelitan telah terbukti banyak memberi faedah bagi istri untuk bisa hidup berbahagia bersama suaminya.

1. Jadilah Istri Yang Menghormati Suami

Bila istri menghormati suaminya, maka dengan mudahnya suami pun akan menghormatinya. Namun, bila istri tidak bisa menghormati suaminya maka selamanya ia akan menderita disisi suaminya. Mengapa? Apakah memang sikap saling menghormati merupakan kebutuhan asasi bagi suami yang tidak bisa ditawar-tawar lagi sehingga mereka mewajibkannya atas istri?

Banyak istri yang bila telah melahirkan anak suaminya beranggapan bahwa ia akan terus damai disisi suaminya. Ia menyangka akan senantiasa bahagia disisi suaminya hanya dengan telah lahirnya anak suaminya. Akibat dari sangkaan dan duga-duga ini akhirnya banyak istri yang lupa atau tidak lagi memandang perlu sikap hormat kepada suaminya. Ia banyak merendahkan suaminya dan menyepelekannya.

Ketahuilah, istri yang menghormati suaminya ialah istri-istri penduduk surga. Tidaklah Anda ingin meneladani mereka? Rasulullah shalallahu alaihi wassalam pernah bersabda:

“Maukah aku kabarkan kepada kalian para istri kalian di surga? Wanita yang penyayang, sangat subur, dan suka kembali berbuat baik yang apabila berbuat aniaya ia akan mengatakan, ‘ Ini tanganku ada diatas tanganmu, aku tidak bisa sekejap pun memejamkan mata sehingga engkau ridho kepadaku”1

Bukankah meminta maaf merupakan bentuk penghormatan yang tinggi? Bukankah mengulurkan tangan mengharapkan maaf suami merupakan sikap hormat istri kepadanya? Maka, bila Anda ingin menghormati suami, jadilah istri yang sabar atas kekhilafannya. Jadilah istri yang tidak pernah menentang suami saat ia marah. Jadilah istri yang menghargai dan menghormati cemburu suami. Jadilah istri yang bisa menjaga suami. Jadilah istri yang tidak enggan meminta maaf. Enggan meminta maaf suami adalah bukti kesombongan istri. Tunjukkan rasa hormat dan perhatian Anda kepada suami dihadapan orang lain, baik saat ia bersamamu maupun saat ia tidak hadir disisimu. Dengan begitu, Anda telah menghormatinya dan insya Allah Anda akan senantiasa bahagia disisinya. Perkataan yang mudah terucap dan mudah menghancurkan rumah tangga ialah, “ Aku tidak akan menghormatimu lagi”.

2. Jadilah Istri Yang Bertanggung Jawab

Banyak istri mengeluhkan perihal suaminya yang tidak bertanggung jawab. Sementara banyak pula suami yang menganggap istrinya tidak bertanggung jawab.

Dalam masalah ini, penting sekali kita menilik kisah Asma’, putri Abu Bakar ash Shidiq. Ia adalah istri yang ikut memikul tanggung jawab dirumah suaminya secara sempurna. Bahkan ia tetap menjaga dan menghormati perasaan serta kecemburuan suaminya.

Suaminya ialah Zubair, seorang sahabat yang fakir. Asma’ pun tahu bahwa suaminya sangat membutuhkan kesiapannya untuk ikut memikul tanggung jawab keluarga bersamanya. Ia biasa mengurusi makanan kuda Zubair, menjahit tempat airnya, menumbuk gandum, mengusung biji-bijian dari kebun dan lain-lainnya. Namun begitu, ia sangat menyadari bahwa keadaanya tidak boleh mengurangi rasa hormatnya kepada suaminya. Ia tetap menjaga perasaan suaminya dan kecemburuannya. Ia lebih memilih mengusung biji-bijian diatas pundaknya dengan berjalan kaki daripada naik untuk padahal ada kaum laki-laki bersamanya. Hal itu hanya demi menghargai kecemburuan suaminya. Sehingga dihadapan istri yang sangat menghargai dan bertanggung jawab inilah sosok seorang suami pun luluh hatinya sehingga ia berkata, “ Demi Allah, pengorbananmu untuk membawa biji-bijian itu jauh lebih berat bagiku daripada dudukmu diatas unta Rasulullah shalallahu aalaihi wassalam”.Memang , Asma’ lebih mendahulukan kecemburuan suaminya sehingga tidak menerima tawaran Rasulullah Shalallahualaihi wassalam untuk naik di unta beliau saat mengusung biji-bijian.

3. Jadilah Istri Yang Terbuka dan Menghargai Perasaan

Ketenteraman perasaan dipengaruhi oleh terungkapnya isi hati pasutri. Ungkapan isi hati tentang rasa cinta kasih istri terhadap suami merupakan factor utama untuk mewujudkan kebahagiaan rumah tangga. Para suami sangat membutuhkan hal itu, sebagaimana istripun membutuhkannya. Bahkan Rasulullah Shalallahu aalaihi wassalam membolehkan istri berdusta dalam pengungkapan rasa cinta dan kasihnya terhadap suaminya demi terwujudnya kehangatan hubungan berumah tangga dan demi terpeliharanya ikatan pernikahan.2 Lalu,mengapa pasutri tidak melakukannya? Mengapa para istri tidak mengutarakan isi hatinya kepada suaminya tentang sesuatu yang bisa membahagiakan kehidupan rumah tangganya?

4. Percayalah Kepada Suamimu

Rasa cemburu merupakan bukti yang sangat kuat akan besarnya cinta dan kasih istri kepada suaminya. Sehingga rasa cemburu terkadang dibutuhkan untuk mengungkapkan isi hati istri kepada suaminya bahwa ia mencintai dan mengasihinya. Bahkan, sifat pencemburu merupakan hal yang lazim bagi wanita. Namun cemburu ada dua, sebagaimana yang disebutkan oleh Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam:

“ Ada diantara sifat cemburu ada yang dicintai dan ada pula yang dibenci oleh Allah. Adapun cemburu yang dicintai Allah adalah cemburu dalam keragu-raguan, sedangkan cemburu yang dibenci oleh Allah ialah cemburu tidak dalam keragu-raguan”3

Cemburu tidak boleh menghilangkan kepercayaan istri kepada suaminya dengan memastikan bahwa suaminya telah salah dan menyeleweng, misalnya si istri mengatakan: “ Mengapa kamu telat pulang?” atau “ Darimana saja tadi kamu pergi?” atau “ Berapa banyak wanita yang bekerja ditempat kerjamu?” Semua perkataan ini dan yang senada ialah cemburu yang tidak baik sebab didasari penetapan bahwa suaminya telah salah dan menyeleweng, bukan dibangun diatas kepercayaan atau sekadar duga-duga dan rasa ragu yang akan hilang dengan penjelasan dari suami.

5. Jadilah Istri Yang Berakhlak Terpuji

Seorang suami yang shahih akan merasa bahagia dan terpenuhi kebutuhan asasinya bila beristrikan seorang wanita yang baik akhlaknya. Wanita yang buruk ialah wanita yang perkataannya selalu bermakna ancaman, ucapan dan suaranya kasar, tidak mau tahu kebaikan orang lain atasnya, dan suka mencari-cari keburukan orang lain. Selain itu, ia juga tidak mengasihi suami, sedikit rasa malunya, suka mencela, pemarah, rumahnya kotor, suka menunjuk dengan tangan dan jarinya, biasa berdusta, dan selalu meneteskan air mata buaya. Istri yang berakhlak terpuji tidak memiliki sifat-sifat tersebut. Bahkan, disaat ia sedang cemburu sekalipun, ia hanya akan menyebut kebaikan suami yang tidak bisa tidak harus membuatnya cemburu.Semoga dengan 5 hal in Anda, para istri , akan berbahagia bersama suami Anda. Wallahul Muwaffiq.

Catatan kaki:

1. Hadits Hasan, lihat Shahihul Jami’ 2604 oleh Syaikh al-Albani
2. lihat dalam Shahih Muslim, Bab Dusta yang di Perbolehkan hadits no.1810 dan Bukhari no.2692 bunyi haditsnya adalah : “Saya tidak pernah mendengar Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam memberi kelonggaran berdusta kecuali dalam 3 hal: Orang yang berbicara dengan maksud hendak mendamaikan, [2] orang yang berbicara bohong dalam peperangan dan [3] suami yang berbicara dengan istrinya serta istri yang berbicara dengan suaminya mengharapkan kebaikan dan keselamatan atau keharmonisan rumah tangga
3. Hadits Hasan, riwayat Abu Dawud 2661 dan Nasai 2570, lihat Shahihul Jami’ 2221 oleh Syaikh al-Albani



Sumber: http://jilbab.or.id
Selengkapnya...

Menjadi Salafi, Mengapa Tidak?

Syaikh Salim Al-Hilali menukil keterangan Ibnu Manzhur seorang pakar bahasa Arab mengenai makna kata ’salaf’. Ibnu Manzhur mengatakan di dalam kamus Lisan Al-’Arab (9/159), “Salaf juga bermakna setiap orang yang mendahuluimu, yaitu nenek moyangmu dan orang-orang terdahulu yang masih memiliki hubungan kerabat denganmu; yang mereka itu memiliki umur dan keutamaan yang lebih di atasmu. Oleh sebab itu generasi pertama (umat ini) dari kalangan tabi’in disebut sebagai kaum salafush-shalih/pendahulu yang baik.” (lihat Limadza ikhtartul manhaj salafy, hal. 30).


Kata salaf itu sendiri sudah disebutkan oleh Nabi dalam haditsnya kepada Fathimah, ”Sesungguhnya sebaik-baik salafmu adalah aku.” (HR. Muslim [2450/98]). Artinya sebaik-baik pendahulu. Kata salaf juga sering digunakan oleh ahli hadits di dalam kitab haditsnya. Bukhari rahimahullah mengatakan, “Rasyid bin Sa’ad berkata ‘Para salaf menyukai kuda jantan. Karena ia lebih lincah dan lebih berani.” Al Hafizh Ibnu Hajar menafsirkan kata salaf tersebut, “Maksudnya adalah para sahabat dan orang sesudah mereka.” (lihat Limadza ikhtartul manhaj salafy, hal. 31-32).

Sedangkan menurut istilah para ulama, maka yang dimaksud dengan salaf adalah sebuah karakter yang melekat secara umum pada diri para sahabat radhiyallahu’anhum, dan orang-orang sesudah mereka pun bisa disebut demikian jika mereka mengikuti dan meneladani jejak para sahabat (lihat Limadza ikhtartul manhaj salafy, hal. 30).

Apabila disebut generasi salaf maka yang dimaksud adalah tiga kurun terbaik umat ini; sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in. Itulah tiga generasi terbaik yang telah dipersaksikan kebaikan dan keutamaannya oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sebaik-baik manusia adalah di jamanku (para sahabat), kemudian orang-orang setelah mereka (tabi’in), dan kemudian yang setelah mereka lagi (tabi’ut tabi’in).” (HR. Bukhari dan Muslim, hadits mutawatir). Ini merupakan pemaknaan salaf jika ditinjau dari sisi masa (lihat Limadza ikhtartul manhaj salafy, hal. 33).

Namun, istilah salaf yang sering dipakai oleh para ulama tidak terbatas pada pemaknaan masa (marhalah zamaniyah) semacam itu. Sebab dalam pengertian mereka istilah salaf merupakan label yang layak untuk dilekatkan bagi siapa saja yang senantiasa berupaya untuk menjaga keselamatan aqidah dan manhajnya yaitu dengan konsisten mengikuti cara beragama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam beserta para sahabatnya, di manapun dan kapanpun mereka berada (lihat Limadza ikhtartul manhaj salafy, hal. 33).

Syaikh Dr. Nashir bin Abdul Karim Al ‘Aql mengatakan, “Salaf adalah generasi awal umat ini, yaitu para sahabat, tabi’in dan para imam pembawa petunjuk pada tiga kurun yang mendapatkan keutamaan (sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in, red). Dan setiap orang yang meneladani dan berjalan di atas manhaj mereka di sepanjang masa disebut sebagai salafi sebagai bentuk penisbatan terhadap mereka.” (Mujmal Ushul Ahlis Sunnah wal Jama’ah fil ‘Aqidah, hal. 5-6)

Allah ta’ala berfirman mengisyaratkan kelurusan manhaj salaf yang mulia ini dengan firman-Nya (yang artinya), “Dan orang-orang yang lebih dahulu (masuk Islam) dan pertama-tama (berjasa dalam dakwah) yaitu kaum Muhajirin dan Anshar dan juga orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah meridhai mereka dan merekapun ridha kepada-Nya. Allah mempersiapkan untuk mereka surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah keberuntungan yang sangat besar.” (QS. At-Taubah : 100).

Ustadz Abdul Hakim Abdat hafizhahullah mengatakan, “Ayat yang mulia ini merupakan sebesar-besar ayat yang menjelaskan kepada kita pujian dan keridhaan Allah kepada para Shahabat radhiyallahu ‘anhum. Bahwa Allah ‘azza wa jalla telah ridha kepada para Shahabat dan mereka pun ridha kepada Allah ‘azza wa jalla. Dan Allah ‘azza wa jalla juga meridhai orang-orang yang mengikuti perjalanan para Shahabat dari tabi’in, tabi’ut tabi’in dan seterusnya dari orang alim sampai orang awam di timur dan di barat bumi sampai hari ini. Mafhum-nya, mereka yang tidak mengikuti perjalanan para Shahabat, apalagi sampai mengkafirkannya, maka mereka tidak akan mendapatkan keridhaan Allah subhanahu wa ta’ala.” (Al Masaa’il jilid 3, hal. 74)

Hal ini menunjukkan kepada kita bahwa hakikat dakwah salafiyah tidak lain ialah mengajak umat untuk senantiasa mengikuti cara beragama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya dengan baik. Sehingga dakwah salafiyah bukanlah dakwah hizbiyah yang menyeru kepada kelompok tertentu dan tokoh-tokoh tertentu selain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat radhiyallahu ta’ala ‘anhum ajma’in. Maka salafiyah adalah kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan pemahaman para sahabat dan para pengikut setia mereka, tidak lebih dari itu.

Kenyataan yang tidak bisa dipungkiri
Pembesar sebuah gerakan dakwah di negeri ini menerangkan kepada kita dengan jujur bahwa, “Salafi adalah suatu manhaj yang berupaya kembali pada rujukan asli, yaitu: al-Qur’an dan Sunnah sebagaimana yang telah difahami dan diamalkan oleh generasi salaf yang shalih.” (lihat Ittijah Fiqih Dewan Syari’ah Partai Keadilan Sejahtera yang ditanda tangani DR. Surahman Hidayat, MA tertanggal 28 Juli 2005 –semoga Allah memberikan hidayahnya kepada beliau-).

Namun, keterangan beliau ini sangat berbeda -kalau tidak mau dikatakan bertentangan- dengan pernyataan seorang pengasuh website al-ikhwan.net yang dengan beraninya mengatakan, ”istilah Salaf ataupun Salafi, maka itu tidak aku temukan dalam Al-Kitab maupun As-Sunnah, maka tidak perlu dihiraukan sedikitpun.” (Dirasah fi Al Aqidah Al Islamiyah). Kalau dalam masalah fiqih mengaku-ngaku salafi, tapi mengapa dalam masalah aqidah tidak mau menjadi salafi? Ada apa ini, wahai saudaraku! Aduhai alangkah tepat ungkapan ini, “Engkau melihat [seolah-olah] mereka bersatu akan tetapi [ternyata] hati mereka tercerai berai.” Allahu yahdiik!

Mengapa harus salafiyah?
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah pernah ditanya : Kenapa harus menamakan diri dengan salafiyah? Apakah ia sebuah dakwah yang menyeru kepada partai, kelompok atau madzhab tertentu. Ataukah ia merupakan sebuah firqah (kelompok) baru di dalam Islam ?

Maka beliau rahimahullah menjawab,
“Sesungguhnya kata Salaf sudah sangat dikenal dalam bahasa Arab. Adapun yang penting kita pahami pada kesempatan ini adalah pengertiannya menurut pandangan syari’at. Dalam hal ini terdapat sebuah hadits shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala beliau berkata kepada Sayyidah Fathimah radhiyallahu ‘anha di saat beliau menderita sakit menjelang kematiannya, “Bertakwalah kepada Allah dan bersabarlah. Dan sesungguhnya sebaik-baik salaf (pendahulu)mu adalah aku.” Begitu pula para ulama banyak sekali memakai kata salaf. Dan ungkapan mereka dalam hal ini terlalu banyak untuk dihitung dan disebutkan. Cukuplah kiranya kami bawakan sebuah contoh saja. Ini adalah sebuah ungkapan yang digunakan para ulama dalam rangka memerangi berbagai macam bid’ah. Mereka mengatakan, “Semua kebaikan ada dalam sikap mengikuti kaum salaf…Dan semua keburukan bersumber dalam bid’ah yang diciptakan kaum khalaf (belakangan).” …”

Kemudian Syaikh melanjutkan penjelasannya,
“Akan tetapi ternyata di sana ada orang yang mengaku dirinya termasuk ahli ilmu; ia mengingkari penisbatan ini dengan sangkaan bahwa istilah ini tidak ada dasarnya di dalam agama, sehingga ia mengatakan, “Tidak boleh bagi seorang muslim untuk mengatakan saya adalah seorang salafi.” Seolah-olah dia ini mengatakan, “Seorang muslim tidak boleh mengatakan : Saya adalah pengikut salafush shalih dalam hal akidah, ibadah dan perilaku.” Dan tidak diragukan lagi bahwasanya penolakan seperti ini –meskipun dia tidak bermaksud demikian- memberikan konsekuensi untuk berlepas diri dari Islam yang shahih yang diamalkan oleh para salafush shalih yang mendahului kita yang ditokohi oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana disinggung di dalam hadits mutawatir di dalam Shahihain dan selainnya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda, “Sebaik-baik manusia adalah di jamanku (sahabat), kemudian diikuti orang sesudah mereka, dan kemudian sesudah mereka.” Oleh sebab itu maka tidaklah diperbolehkan bagi seorang muslim untuk berlepas diri dari penisbatan diri kepada salafush shalih. Berbeda halnya dengan penisbatan (salafiyah) ini, seandainya dia berlepas diri dari penisbatan (kepada kaum atau kelompok) yang lainnya niscaya tidak ada seorangpun di antara para ulama yang akan menyandarkannya kepada kekafiran atau kefasikan…” (Al Manhaj As Salafi ‘inda Syaikh Al Albani, hal. 13-19, lihat Silsilah Abhaats Manhajiyah As Salafiyah 5 hal. 65-66 karya Doktor Muhammad Musa Nashr hafizhahullah)

Ini bukan bid’ah akhi…
Istilah salafiyah artinya penyandaran diri kepada kaum salaf. Hal itu merupakan perkara yang terpuji, bukan tergolong bid’ah atau menciptakan mazhab yang baru. Syaikh Salim Al-Hilali hafizhahullah menukil keterangan Ibnu Taimiyah di dalam Majmu’ Fatawanya (4/149) yang menuturkan, “Tidaklah tercela sama sekali orang yang menampakkan mazhab salaf dan menyandarkan diri kepadanya serta merasa mulia dengan pengakuannya itu. Bahkan pernyataannya itu wajib untuk diterima berdasarkan kesepakatan (ulama). Sebab mazhab salaf tidak lain adalah kebenaran itu sendiri.” (Limadza ikhtartul manhaj salafy, hal. 33).

Syaikh Prof. Dr. Ibrahim bin ‘Amir Ar Ruhaili hafizahullah mengatakan, “Bukan termasuk perbuatan bid’ah barang sedikitpun apabila Ahlus Sunnah menamai dirinya Salafi. Sebab pada hakekatnya istilah Salaf sama persis artinya dengan isitlah Ahlus Sunnah wal Jama’ah…” (Mauqif Ahlis Sunnah, 1/63. Dinukil melalui Tabshir Al Khalaf bi syar’iyatil Intisab ila As Salaf). Maka seorang salafi adalah setiap orang yang mengikuti Al Kitab dan As Sunnah dengan pemahaman salafush salih serta menjauhi pemikiran yang menyimpang dan bid’ah-bid’ah dan tetap bersatu dengan jama’ah kaum muslimin bersama pemimpin mereka. Itulah hakekat salafi, meskipun orangnya tidak menamakan dirinya dengan istilah ini (lihat kalimat penutup risalah Tabshir Al Khalaf bi syar’iyatil Intisab ila As Salaf karya Dr. Milfi Ash-Sha’idi).


Sumber: http://abu0mushlih.wordpress.com


Selengkapnya...

Tangis Haru Syeikh al-Albani

Sumber: Halaman fb al-Akh Ibnu Daili -semoga Allah membalas kebaikannya-

Kisah mimpi seorang ukhti Aljazair yang bermimpi melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang jalannya diikuti oleh Syeikh Al-Albani. Sebuah percakapan seorang muslimah dengan Syeikh Al Albani yang berkomunikasi melalui telephone, pada saa…t Syeikh Al Albani sedang ceramah di suatu majelis ta’lim.yang menceritakan tentang mimpi tersebut bahwasanya Syeikh Al Albani telah mengikuti jalannya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.


Muslimah tersebut bermaksud mengabarkan kepada beliau rahimahullah sebagai kabar gembira. Namun ternyata beliau rahimahullah menyambutnya dengan tangisan haru, karena merasa terlalu rendah untuk itu. Berikut terjemahan percakapan tersebut : Ukhti: Syeikh, seorang akhwat di Aljazair pernah bermimpi…mudah-mudahan ini adalah sebuah kabar gembira… Syeikh Al Albani: Khairan Rayti…(Semoga kebaikan yang ukhti saksikan) ! Ukhti : Insya Allah…Syeikh, apakah ada dalil yang menegaskan bahwa jika ada orang yang menceritakan mimpinya kepada kita, lalu kita mengatakan: Khairan rayti (semoga kebaikan yang engkau saksikan) ? Syeikh Al Albani : Tidak…ucapan ini tidak tsabit, tapi tidak mengapa untuk sesekali digunakan… Ukhti: Semoga Allah memberkahi Anda… Syeikh Al Albani : Semoga ukhti juga demikian… Ukhti : Baik, sang ukhti tersebut bermimpi melihat dirinya berada di sebuah balkon yang menghadap ke sebuah jalan….maka tiba-tiba di jalan itu, sang ukhti melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam…ukhti itu melihat saya berdiri di dekat Rasulullah dan saya tersenyum kepada beliau, lalu beliau pun tersenyum kepada saya … kemudian beliau berlalu meninggalkan jalan itu … tidak lama kemudian, kami melihat seorang Syeikh yang juga berjalan di jalan itu … kamipun mengucapkan salam kepadanya: “Assalamu ‘alaikum…” kemudian Syeikh itu menjawab: “Wa ‘alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh…”,

Syeikh itu bertanya: “Apakah kalian melihat Rasulullah ? Kami pun menjawab: Iya, kami melihat beliau ….. Maka kami pun menunjukkan jalan yang dilalui (Rasulullah). Maka Syeikh itu pun menapaki jalan tepat di jejak kaki rasulullah dan mengikuti beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu ukhti tersebut bertanya kepada saya: Siapakah gerangan Syeikh itu ? Maka saya pun menjawab: (Dan ini mudah-mudahan kabar gembira untuk Anda, wahai Syeikh…) Itu adalah … Syeikh Al-Albani … (dan saya katakan bahwa mudah-mudahan ini adalah kabar gembira untuk Syeikh, bahwasanya Syeikh telah berjalan di atas jalan Sunnah…Insya Allah … ( TERDENGAR SYEIKH AL ALBANI MULAI SESENGGUKAN MENANGIS )

Ukhti: Bagaimana menurut Anda, wahai Syeikh ….. ? ( SYEIKH AL ALBANI HANYA TERDIAM DAN MENANGIS….LALU MENUTUP TELEPHONE…BELIAU DIAM DAN MENANGIS DALAM WAKTU YANG CUKUP LAMA…KEMUDIAN BELIAU MEMINTA MURID-MURIDNYA YANG HADIR DI MAJELIS ITU UNTUK PULANG … ) Syeikh Al Albani : Pulanglah kalian, wahai ikhwan … “

Jika engkau bisa, jadilah seorang ulama. Jika engkau tidak mampu, maka jadilah seorang penuntut ilmu. Bila engkau tidak bisa menjadi seorang penuntut ilmu, maka cintailah mereka. Dan jika kau tidak bisa mencintai mereka, janganlah engkau benci mereka.” [ ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz rahimahullah – (61 – 101 H) ] [ Khalifah 8 Bani Umayyah – (99 – 101 H) ]

Dengarkan rekaman suara percakapan tersebut beserta terjemahnya ke dalam bahasa Inggris di link berikut ini http://alqiyamah.wordpress.com



Sumber: http://abu0mushlih.wordpress.com

Selengkapnya...

Mengenal Ketinggian Allah Subhanahu wa Ta’ala

Mengenal Ketinggian Allah

Allah yang menciptakan kita mewajibkan kita untuk mengetahui di mana Dia, sehingga kita dapat menghadap kepada-Nya dengan hati, do’a dan shalat kita. Orang yang tidak tahu di mana Tuhannya akan selalu sesat dan tidak akan mengetahui bagaimana cara beribadah yang benar.

Sifat atas atau tinggi yang dimiliki Allah atas makhluk-Nya tidak berbeda dengan sifat-sifat Allah yang lainnya sebagaimana yang diterangkan dalam Al-Qur`an dan hadits yang shahih, seperti “Mendengar”, “Melihat”, “Berbicara”, “Turun” dan lain-lain.

‘Aqidah para ‘ulama salaf yang shalih dan golongan yang selamat yaitu Ahlus Sunnah wal Jama’ah mempunyai keyakinan yang sesuai dengan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya tanpa ta`wiil (menggeser makna yang asal ke makna yang lain), ta’thiil (meniadakan seluruh atau sebagian sifat-sifat Allah), takyiif (menanyakan hakekat sifat-sifat Allah) dan tasybiih (menyamakan Allah dengan makhluk-Nya). Hal ini berdasarkan firman Allah: “Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Asy-Syuuraa:11)

Sifat-sifat Allah ini antara lain sifat atas atau tinggi tadi mengikuti Dzat Allah. Oleh karena itu iman kepada sifat-sifat Allah tersebut juga wajib sebagaimana juga iman kepada Dzat Allah.

Al-Imam Malik ketika ditanya tentang makna istiwa` dalam firman Allah: “Ar-Rahman (Yang Maha Pengasih) bersemayam di atas ‘Arsy.” (Thaahaa:5)
Beliau menjawab: “Istiwa` itu sudah diketahui maknanya, yaitu “tinggi”. Sedangkan bagaimananya, tidak diketahui. Beriman dengannya adalah wajib dan menanyakannya adalah bid’ah.”

Perhatikanlah jawaban Al-Imam Malik tersebut yang menetapkan bahwa iman kepada istiwa` itu wajib diketahui oleh setiap muslim. Tetapi bagaimana tingginya Allah itu hanya Allah saja yang mengetahui. Orang yang mengingkari sifat Allah yang telah ditetapkan dalam Al-Qur`an dan Hadits -antara lain sifat ketinggian Allah yang mutlak dan Allah di atas langit- maka orang itu berarti telah mengingkari ayat Al-Qur`an dan Hadits yang menetapkan adanya sifat-sifat tersebut. Sifat-sifat tersebut meliputi sifat-sifat kesempurnaan, keluhuran dan keagungan yang tidak boleh diingkari oleh siapa pun.

Ada sekelompok ‘ulama yang datang belakangan yang sudah terpengaruh oleh filsafat yang merusak ‘aqidah Islam, berusaha untuk mena`wilkan ayat-ayat Al-Qur`an yang berhubungan dengan sifat Allah, sehingga mereka menghilangkan sifat-sifat Allah yang sempurna dari Dzat-Nya. Mereka bertentangan dengan metode ‘ulama salaf yang lebih selamat, lebih tahu dan lebih kuat argumentasinya. Alangkah indahnya pendapat yang mengatakan:
segala kebaikan itu terdapat dalam mengikuti jejak ‘ulama salaf
dan segala keburukan itu terdapat dalam bid’ahnya orang-orang khalaf (yang menyelisihi salaf).

Kesimpulan Mengenai Sifat-sifat Allah

Beriman kepada seluruh sifat-sifat Allah yang diterangkan dalam Al-Qur`an dan Hadits adalah wajib. Tidak boleh membeda-bedakan antara sifat yang satu dengan sifat yang lain, sehingga kita hanya mau beriman kepada sifat yang satu dan ingkar kepada sifat yang lain. Orang yang percaya bahwa Allah itu Maha Mendengar dan Maha Melihat, dan percaya bahwa mendengar dan melihatnya Allah tidak sama dengan mendengar dan melihatnya makhluk, maka ia juga harus percaya bahwa Allah itu tinggi di atas langit dengan cara dan sifat yang sesuai dengan keagungan Allah dan tidak sama dengan tingginya makhluk, karena sifat tingginya itu adalah sifat yang sempurna bagi Allah. Hal itu sudah ditetapkan sendiri oleh Allah dalam Kitab-Nya dan sabda-sabda Rasulullah. Fithrah dan cara berfikir yang sehat juga mendukung kenyataan tersebut.

Allah Berada di atas ‘Arsy
Al-Qur`an, hadits shahih dan fithrah yang bersih serta cara berfikir yang sehat adalah dalil-dalil yang qath’i yang mendukung kenyataan bahwa Allah berada di atas ‘Arsy.

Dalil-dalil tersebut adalah:
1. Firman Allah Ta’ala:

الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى

“Allah Yang Maha Pengasih itu beristiwa` di atas ‘Arsy.” (Thaahaa:5) Keterangan bahwa Allah bersemayam di atas ‘Arsy terdapat dalam tujuh surat, yaitu: Al-A’raaf:54, Yuunus:3, Ar-Ra’d:2, Thaahaa:5, Al-Furqaan:59, As-Sajdah:4 dan Al-Hadiid:4.
Para tabi’in menafsirkan istiwa` dengan naik dan tinggi, sebagaimana diterangkan dalam hadits Al-Bukhariy, yang merupakan bantahan terhadap orang yang mena`wilkan istiwa` dengan istaula (menguasai). (Lihat Syarh Al-’Aqiidah Al-Waasithiyyah, Asy-Syaikh Al-Fauzan hal.73-75 cet. Maktabah Al-Ma’aarif)
2. “Apakah kalian merasa aman terhadap “Yang di langit” bahwa Dia akan menjungkirbalikkan bumi bersama kalian?” (Al-Mulk:16)
Menurut Ibnu ‘Abbas yang dimaksud dengan “Yang di langit” adalah Allah seperti disebutkan dalam kitab Tafsir Ibnul Jauziy.
3. “Mereka takut kepada Tuhan mereka yang (ada) di atas mereka.” (An-Nahl:50)
4. Firman Allah tentang Nabi ‘Isa: “Tetapi (yang sebenarnya), Allah mengangkatnya kepada-Nya.” (An-Nisaa:158)
Maksudnya Allah menaikkan Nabi ‘Isa ke langit.
5. “Dan Dialah Allah (Yang disembah), baik di langit maupun di bumi.” (Al-An’aam:3)
Ibnu Katsir mengomentari ayat ini sebagai berikut: “Para ahli tafsir sepakat bahwa kita tidak akan mengucapkan seperti ucapannya Jahmiyyah (golongan yang sesat) yang mengatakan bahwa Allah itu berada di setiap tempat. Maha Suci Allah dari ucapan mereka terebut.”
Adapun firman Allah: “Dan Dia bersama kalian di mana saja kalian berada.” (Al-Hadiid:4), maka yang dimaksud adalah Allah itu selalu bersama kita, dalam artian mendengar dan melihat kita, seperti diterangkan dalam tafsir Ibnu Katsir dan Jalalain.
6. Rasulullah mi’raj ke langit ketujuh dan berdialog dengan Allah serta diwajibkan untuk melakukan shalat lima waktu. (Muttafaqun ‘alaih)
7. Rasulullah bersabda: “Kenapa kamu tidak mempercayaiku, padahal aku ini dipercaya oleh Allah yang ada di langit?” (Muttafaqun ‘alaih)
8. Rasulullah bersabda: “Sayangilah orang-orang yang ada di bumi maka Yang di langit (yaitu Allah) akan menyayangi kalian.” (HR. At-Tirmidziy)
9. Abu Bakr Ash-Shiddiq berkata: “Barangsiapa menyembah Allah maka Allah berada di atas langit, Ia hidup dan tidak mati.” (Riwayat Ad-Darimiy dalam Ar-Radd ‘alal Jahmiyyah)
10. ‘Abdullah Ibnul Mubarak pernah ditanya: “Bagaimana kita mengetahui Tuhan kita?” Maka beliau menjawab: “Tuhan kita di atas langit, di atas ‘Arsy, berbeda dengan makhluk-Nya.” Maksudnya Dzat Allah berada di atas ‘Arsy, berbeda dan berpisah dengan makhluk-Nya dan keadaannya di atas ‘Arsy tersebut tidak sama dengan makhluk.
11. Al-Imam Abu Hanifah menulis kitab kecil berjudul “Sesungguhnya Allah itu di atas ‘Arsy.” Beliau menerangkan hal itu seperti dalam kitabnya “Al-’Ilm wal Muta’allim.”
12. Seseorang yang tengah shalat berucap di dalam sujudnya: “Subhaana Rabbiyal A’laa” (Maha Suci Tuhanku Yang Maha Tinggi).
13. Seseorang ketika berdo’a juga mengangkat kedua tangannya dan menadahkannya ke langit.
14. Anak kecil ketika ditanya: “Di mana Allah?”, niscaya mereka akan segera menjawab berdasarkan fithrah mereka yang masih bersih bahwa Allah berada di atas langit.
15. Hewan buruan seperti kijang dan lainnya ketika hendak dibidik/dibunuh oleh sang pemburu, menengadahkan kepalanya ke langit meminta kepada Rabb-nya yang ada di atas langit agar menyelamatkannya. Hal ini menunjukkan bahwa hewan tersebut tahu bahwa Rabb-nya di atas langit. Demikian juga hewan-hewan yang lainnya mengetahui bahwa Rabb mereka berada di atas langit. Kalau ada orang yang masih belum mengetahui di mana Rabb-nya maka dia lebih hina dan lebih rendah daripada hewan.
16. Akal yang sehat juga mendukung kenyataan bahwa Allah berada di atas langit. Seandainya Allah berada di setiap tempat, niscaya Rasulullah pernah menerangkan dan mengajarkan kepada para shahabatnya. Kalau Allah berada di segala tempat berarti Allah juga di tempat-tempat yang najis dan kotor. Maha Suci Allah dari anggapan itu.

Kisah Seorang Wanita Penggembala

Di antara dalil yang menunjukkan bahwa Allah di atas langit adalah kisah seorang budak wanita penggembala. Kisahnya adalah sebagai berikut:
Dari Mu’awiyyah bin Al-Hakam As-Sulamiy berkata: “Dulu aku mempunyai seorang budak wanita yang menggembalakan kambing-kambingku di daerah Uhud dan Jawwaaniyyah.

Suatu hari aku menengoknya, tiba-tiba ada seekor serigala membawa pergi salah satu kambingnya. Sedangkan aku adalah seorang laki-laki dari Bani Adam. Aku bisa marah sebagaimana orang lain pun bisa marah. Maka aku pun memukulnya sekali.
Kemudian aku mendatangi Rasulullah, maka beliau menganggap besar perbuatan yang telah kulakukan.
Aku berkata: “Wahai Rasulullah, apakah aku merdekakan saja dia?” Beliau menjawab: “Bawa dia kepadaku!”
Maka setelah budak wanita tersebut dibawa ke hadapan beliau, beliau bertanya kepadanya: “Di mana Allah?” Dia menjawab: “Di atas langit.” Beliau bertanya lagi: “Siapa aku?” Budak itu pun menjawab: “Engkau adalah Utusan Allah.”
Setelah mendengar jawaban tersebut, beliau bersabda: “Merdekakan dia, karena dia adalah seorang wanita yang beriman.” (HR. Muslim no.537)

Dari hadits dan kisah tersebut, kita bisa mengambil beberapa faidah, di antaranya:
1. Adalah kebiasaan para shahabat ketika menghadapi suatu permasalahan meskipun kecil, selalu merujuk kepada Rasulullah agar mereka mengetahui bagaimana hukum Allah di dalam permasalahan tersebut.
2. Wajibnya berhukum kepada Allah dan Rasul-Nya dalam rangka mengamalkan firman Allah Ta’ala: “Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman sampai mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (An-Nisaa`:65)
3. Pengingkaran Rasulullah terhadap shahabat tersebut yang memukul budaknya dan beliau menganggapnya sebagai perkara besar.
4. Memerdekakan budak hanya boleh dilakukan terhadap budak yang beriman, bukan budak yang kafir. Karena Rasulullah menguji budak tadi dan ketika beliau mengetahui bahwa budak itu beriman, beliau memerintahkan untuk memerdekakannya. Jadi seandainya dia kafir, beliau tidak akan memerintahkan hal tersebut.
5. Kewajiban bertanya tentang tauhid, di antaranya tentang tingginya Allah di atas ‘Arsy-Nya. Mengetahui hal ini adalah wajib.
6. Disyari’atkannya memberikan pertanyaan: “Di mana Allah?”. Hal ini adalah sunnah karena Rasulullah juga menanyakannya. Hal ini juga sebagai bantahan terhadap orang yang mengatakan: “Tidak boleh bertanya di mana Allah!”
7. Disyari’atkannya (bahkan wajib untuk) menjawab bahwa Allah ada di langit (yaitu di atas langit). Karena Nabi membenarkan jawaban budak tadi dan juga karena sesuainya jawaban tersebut dengan Al-Qur`an yang mengatakan: “Apakah kalian merasa aman terhadap “Yang di langit” bahwa Dia akan menjungkirbalikkan bumi bersama kalian?” (Al-Mulk:16)
Yang dimaksud dengan “Yang di langit” adalah Allah, sebagaimana yang ditafsirkan oleh Ibnu ‘Abbas. Sedangkan makna fis samaa` (di langit) adalah ‘alas samaa` (di atas langit).
8. Benarnya keimanan dapat terwujud dengan adanya persaksian terhadap Muhammad dengan risalah beliau.
9. Keyakinan bahwa Allah ada di atas langit adalah bukti yang menunjukkan benarnya keimanan dan keyakinan ini harus ada pada setiap orang yang beriman.
10. Hadits ini merupakan bantahan terhadap kesalahan orang yang mengatakan bahwa Allah ada di setiap tempat dengan Dzat-Nya, sedangkan yang benar adalah Allah bersama kita dengan ilmu-Nya, bukan dengan Dzat-Nya.
11. Permintaan Rasulullah agar budak itu dibawa ke hadapan beliau sehingga beliau dapat mengujinya menunjukkan bahwa beliau tidak mengetahui perkara ghaib, yaitu keimanan budak tersebut. Hal ini sebagai bantahan terhadap golongan shufi yang mengatakan bahwa Rasulullah mengetahui perkara ghaib. Wallaahu A’lam.

Diringkas dari kitab Taujiihaat Islaamiyyah li Ishlaahil Fard wal Mujtama’ dan Kaifa Nurabbii Aulaadanaa karya Asy-Syaikh Muhammad Jamil Zainu dengan beberapa tambahan.

Pernyataan Para Imam tentang Istiwa`

Berkata Al-Imam Abu Hanifah: “Siapa yang berkata: “Saya tidak tahu Tuhanku itu di mana, di langit ataukah di bumi.”, maka orang tersebut kafir. Demikian pula orang yang berkata: “Tuhanku itu di atas ‘Arsy, tetapi saya tidak tahu ‘Arsy itu di langit ataukah di bumi.” (Al-Fiqhul Absath hal.46; Lihat juga Majmuu’ul Fataawaa 5/48; Syarh Al-’Aqiidah Ath-Thahaawiyyah, Ibnu Abil ‘Izz hal.301;)

Abu Nu’aim menuturkan dari Ja’far bin ‘Abdillah, dia berkata: “Kami berada di rumah Malik bin Anas, kemudian ada orang datang dan bertanya, “Wahai Abu ‘Abdillah, Allah Yang Maha Pengasih istiwa` (bersemayam) di atas ‘Arsy, bagaimana caranya Allah beristiwa`?”
Mendengar pertanyaan itu, Al-Imam Malik marah. Beliau tidak pernah marah seperti itu. Kemudian beliau melihat ke tanah sambil memegang kayu di tangannya, lalu beliau mengangkat kepalanya dan melempar kayu tersebut, kemudian berkata: “Istiwa` itu sudah diketahui maknanya sedangkan bagaimana caranya Allah beristiwa` tidaklah dapat dicerna oleh akal. Beriman dengannya adalah wajib sedangkan menanyakannya adalah bid’ah. Dan saya kira kamulah pelaku bid’ah tersebut.” Kemudian Al-Imam Malik menyuruh orang itu agar dikeluarkan dari rumah beliau.” (Al-Hilyah 6/325-326; ‘Aqiidatus Salaf Ash-Haabul Hadiits hal.17-18; At-Tamhiid 7/151; Fathul Baarii 13/406-407)

Wallaahu A’lam.
Dinukil dari kitab I’tiqaadul A`immah Al-Arba’ah, Dr. Muhammad Al-Khumais
(Dikutip dari Bulletin Al Wala’ wal Bara’ Edisi ke-35 Tahun ke-2 / 23 Juli 2004 M / 05 Jumadits Tsani 1425 H. URL http://salafy.iwebland.com/fdawj/awwb/read.php?edisi=35&th=2)

Sumber: http://www.salafy.or.id/


Selengkapnya...

ist tes upload

Banner Link Islami

Bisnis dan rezeki

pengusaha Photobucket

Pustaka Sunnah

tibyan naba

Blog Archive